Selasa, 10 Februari 2009

pembiayaan pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

DUNIA pendidikan Indonesia mencatat sejarah baru: besarnya alokasi dana yang diterima dari kompensasi bahan bakar minyak (BBM). Secara nominal, alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp235 ribu per siswa SD/MI dan Rp324,5 ribu per siswa SMP/MTs per tahun terhitung besar. Sepanjang sejarah republik, inilah dana operasional terbesar yang pernah diterima oleh sekolah. Namun, di tengah mahalnya biaya pendidikan, masih harus diuji apakah BOS mampu menjadi oase atau hanya fatamorgana biaya pendidikan.

Di atas kertas, Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) Bidang Pendidikan ini memang dirancang untuk memenuhi kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan dasar (Pasal 31 [4] UUD 1945). Ironisnya, alih-alih memenuhi amanat konstitusi, sejak awal implementasi BOS justru cenderung dijadikan alat pengalihan tanggung jawab dan pengingkaran kewajiban pembiayaan pendidikan dasar oleh pemerintah

Dalam berbagai kesempatan para birokrat pendidikan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa BOS dapat menutupi seluruh biaya operasional sekolah. Argumentasinya sebagaimana diungkapkan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Fasli Jalal, 90% SD/MI dan SMP/MTs memungut iuran di bawah nilai BOS. Sisanya, tujuh persen memungut iuran sama dengan atau sedikit lebih tinggi dari nilai BOS dan tiga persen lainnya bisa dikategorikan sebagai sekolah elite.

Perangkat Finasial

Jika dicermati, sedikitnya terdapat tiga perangkap finansial yang terdapat dalam skema penyaluran BOS. Ketiga perangkap ini menyimpan potensi distorsi atas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan dasar gratis dan bermutu. Jika sekolah tidak hati-hati, kondisi ini justru akan bermuara pada pengalihan (sebagian) tanggung jawab pembiayaan pendidikan dasar oleh pemerintah kepada masyarakat

Lebih dari itu, pemerintah akan mendapatkan alasan untuk mem-fait accompli pengesahan regulasi terkait pembiayaan pendidikan. Ketiga perangkap itu adalah perhitungan biaya satuan pendidikan (unit cost), diskriminasi (terselubung) terhadap sekolah swasta, dan segregasi sosial di sekolah
.
Pertama, perhitungan biaya satuan pendidikan. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004), biaya satuan pendidikan (unit cost) yang dijadikan rujukan dalam penetapan alokasi dana BOS belum memasukkan biaya personel atau gaji guru (Tabel 1).

Di satu sisi, tidak dimasukkannya gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan ini sesuai dengan ketentuan pengalokasian dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (1) UU Sisdiknas. Namun pada saat yang sama, perhitungan ini juga telah mengaburkan kebutuhan anggaran yang harus ditanggung pemerintah untuk mewujudkan pendidikan dasar yang gratis sekaligus bermutu sebagaimana dijamin Pasal 5, 11, dan 41

UU Sisdiknas

Jika dibandingkan perhitungan biaya pendidikan yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan United Nations Development Program (UNDP) dalam Indonesia Human Development Report (IHDR) 2004, perbedaannya sangat mencolok. Dalam IHDR, biaya pendidikan yang dihitung memang tidak hanya biaya operasional saja. Biaya pendidikan juga mencakup biaya investasi dan peningkatan kualitas, termasuk gaji guru yang layak.

Dengan memasukkan komponen tersebut biaya pendidikan dasar per murid per distrik pada tahun 2003/2004 saja telah mencapai Rp966 ribu untuk SD, sedangkan untuk SMP sebesar Rp1.449.000. Anggaran itu masih itu harus ditambah Rp208.660 untuk SD dan Rp833.630 untuk SMP (hlm 47-48). Diyakini hanya dengan cara itu peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia akan meningkat. Seperti diketahui

IPM Indonesia terus terpuruk, harus puas menduduki peringkat 110 berdasarkan laporan IBM 2005

Kalkulasi ini menunjukkan bahwa BOS tidak akan dapat memacu peningkatan mutu pendidikan dasar kita. Paling jauh, BOS hanya akan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan dasar di tengah tekanan ekonomi yang kian mengimpit. Padahal tanpa komitmen yang kuat untuk meningkatkan anggaran pendidikan, BOS justru akan membonsai kehidupan sekolah. Dan, peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tidak akan beranjak dari keterpurukan
.
Kedua, diskriminasi (terselubung) terhadap sekolah swasta. Data Balitbang Depdiknas di atas menunjukkan, kecuali untuk SD, unit cost sekolah swasta ternyata lebih tinggi daripada alokasi dana BOS. Artinya, diakui atau tidak, ada diskriminasi (terselubung) dalam mekanisme penetapan dana BOS. Pasalnya, selain menerima BOS, guru sekolah negeri yang mayoritas berstatus pegawai negeri sipil (PNS) digaji oleh pemerintah. Selain itu, sekolah negeri juga masih mendapat biaya operasi dan pemeliharaan (BOP) dari alokasi APBD

Nuansa diskriminatif semakin kentara ketika sekolah swasta tidak boleh lagi menarik iuran untuk membiayai komponen honor guru. Faktanya adalah penghasilan mayoritas guru di sekolah dengan nilai iuran di bawah BOS masih berada di bawah upah minimum kabupaten/kota alias tidak layak sehingga jika tanpa ada insentif lain (semisal dana kesejahteraan guru dari alokasi APBD) guru sekolah swasta tidak akan terangkat kesejahteraannya. Sementara pada saat yang bersamaan mereka harus menanggung kenaikan harga bahan kebutuhan pokok seiring dicabutnya subsidi BBM.

Ketiga, sekolah menjadi alat segregasi sosial. Walaupun jumlahnya tidak lebih dari 10%, penolakan BOS oleh beberapa sekolah elite telah menjadi justifikasi politik bagi upaya segregasi sosial melalui sekolah. Hal ini terkait dengan Rencana Strategis Depdiknas 2004-2009 yang berusaha memisahkan pendidikan formal menjadi dua jalur: formal mandiri dan formal standar sebagaimana dilansir media beberapa waktu lalu.

Kendati rencana itu sempat dibantah pejabat Depdiknas, upaya memisahkan sekolah mandiri dan standar (baca: kaya dan miskin) secara dikotomis terus berlangsung. Setidaknya dikotomi tersebut dapat ditemukan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Rancangan PP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan.
Di dalam terminologi administrasi keuangan, khususnya adminsitrasi keuangan bidang pendidikan, dibedakan antara biaya (cost) dan pembelanjaan (expenditure). Biaya (cost) adalah nilai besar dana yang diprakirakan perlu disediakan untuk membiayai kegiatan tertentu, misalnya kegiatan akademik, kegiatan kesiswaan, dan sebagainya. Sedangkan pembelanjaan (expenditure) adalah besar dana riil yang dikeluarkan untuk membiayai unit kegiatan tertentu, misalnya kegiatan praktikum siswa. Oleh karena itu, seringkali muncul adanya perbedaan antara biaya yang dianggarkan dengan pembelanjaan riil.
Secara umum, pembiayaan pendidikan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu; (1) biaya rutin (recurring cost) dan biaya modal (capital cost). Recurring cost pada intinya mencakup keseluruhan biaya operasional penyelenggaraaan pendidikan, seperti biaya administrasi, pemeliharaan fasilitas, pengawasan, gaji, biaya untuk kesejahteraan, dan lain-lain. Sementara, capital cost atau sering pula disebut biaya pembangunan mencakup biaya untuk pembangunan fisik, pembelian tanah, dan pengadaan barang-barang lainnya yang didanai melalui anggaran pembangunan.
Akumulasi biaya dibagi jumlah siswa akan diketahui besarnya biaya satuan (unit cost). Unit cost yang dimaksud di sini adalah unit cost per siswa. Unit cost per siswa memiliki empat makna. Pertama, unit cost per siswa dilihat dari aspek recurring cost. Kedua, unit cost per siswa dilihat dari aspek capital cost. Ketiga, unit cost per siswa dilihat dari akumulasi atau perjumlahan dari recurring cost dengan capital cost. Keempat, unit cost per siswa dilihat dari recurring cost, capital cost, dan seluruh biaya yang dikeluarkan langsung oleh siswa untuk keperluan pendidikannya.
Dengan demikian, secara sederhana biaya satuan per siswa yang belajar penuh (unit cost per full time student) tidak sulit dihitung. Perhitungannya dilakukan dengan menambahkan seluruh belanja atau dana yang dikeluarkan oleh isntitusi (total institution expenditures) dalam pelaksanaan tugas-tugas kependidikan dibagi dengan jumlah siswa reguler (full time student) dalam tahun tertentu, termasuk biaya yang mereka keluarkan untuk keperluannya sendiri dalam menjalani pendidikan.
Hampir dapat dipastikan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya yang memadai. Implikasi diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan, membuat para pengambil keputusan sering kali mengalami kesulitan dalam mendapatkan referensi tentang komponen pembiayaan pendidikan. Kebutuhan tersebut dirasakan semakin mendesak sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah yang juga meliputi bidang pendidikan. Apalagi masalah pembiayaan ini sangat menentukan kesuksesan program MBS, KBK, ataupun KTSP yang saat ini diberlakukan.
Secara umum pembiayaan pendidikan adalah sebuah kompleksitas, yang didalamnya akan terdapat saling keterkaitan pada setiap komponennya, yang memiliki rentang yang bersifat mikro (satuan pendidikan) hingga yang makro (nasional), yang meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaanya, akuntabilitas hasilnya yang diukur dari perubahan-perubahan yang terjadi pada semua tataran, khususnya sekolah, dan permasalahan-permasalahan yang masih terkait dengan pembiayaan pendidikan, sehingga diperlukan studi khusus untuk lebih spesifik mengenal pembiayaan pendidikan ini.
Sesuai dengan petunjuk dari silabus mata kuliah Ekonomi Pendidikan, dalam makalah ini, akan memfokuskan pada satu permasalahan pembiayaan pendidikan yaitu analisis manfaat biaya, namun untuk memperjelas dan mempermudah pembahasan makalah ini, pemakalah akan membahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan biaya pendidikan.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Biaya Pendidikan
Secara bahasa biaya (cost) dapat diartikan pengeluaran, dalam istilah ekonomi, biaya/pengeluaran dapat berupa uang atau bentuk moneter lainnya. Dan biaya pendidikan menurut Prof. Dr. Dedi Supriadi, merupakan salah satu komponen instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Biaya dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan uang).
Nanang Fattah menambahkan biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa seperti pembelian alat-alat pembelajaran, penyediaan sarana pembelajaran, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar, contohnya, uang jajan siswa, pembelian peralatan sekolah (pulpen, tas, buku tulis,dll).
B. Analisis Biaya Manfaat (Cost Benefit Analysis)
Analisis biaya manfaat merupakan metodologi yang banyak digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan. Metode ini dapat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan pilihan diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas tetapi memberikan keuntungan yang tinggi.
Dalam konsep dasar pembiayaan pendidikan ada dua hal penting yang perlu dikaji atau dianalisis, yaitu biaya pendidikan secara keseluruhan (total cost) dan biaya satuan per siswa (unit cost). Biaya satuan ditingkat sekolah merupakan aggregate biaya pendidikan tingkat sekolah baik yang bersumber dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat yang dikerluarkan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu tahun pelajaran. Biaya satuan per murid merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa besar uang yang dialokasikan sekolah secara efektif untuk kepentingan murid dalam menempuh pendidikan. Oleh karena biaya satuan ini diperoleh dengan memperhitungkan jumlah murid pada masing-masing sekolah, maka ukuran biaya sattuan dianggap standard an dapat dibandingkan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya. Analisis mengenai biaya satuan dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya dapat dilakukan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis. Dengan menganalisis biaya satuan, memungkinkan kita untuk mengetahui efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber di sekolah, keuntungan dari investasi pendidikan, dan pemerataan pengeluaran masyarakat, pemerintah untuk pendidikan. Disamping itu, juga dapat menjadi penilaian bagaimana alternatif kebijakan dalam upaya perbaikan atau peningkatan sistem pendidikan.
C. Mengukur Biaya Pendidikan.
Didalam menentukan biaya satuan terdapat dua pendekatan, yaitu:
 Pendekatan makro.
Faktor utama yang menentukan perhitungan biaya satuan dalam sistem pendidikan adalah kebijakan dalam pengalokasian anggaran pendidikan disetiap negara. Satuan biaya pendidikan disetiap negara sangat bervariasi, yang disebabkan oleh perbedaan cara penyelenggaraan pendidikan. Untuk membandingkan biaya pendidikan pada tiap jenjang ditiap negara, teknik yang dilakukan adalah dengan membandingkan biaya operasional pendidikan dan sumber keuangannya, yang bisa dilihat dari persentase GNP dari tiap negara.
 Pendekatan mikro.
Pendekatan ini menganalisis biaya pendidikan berdasarkan pengeluaran total (total cost) dan jumlah biaya satuan (unit cost) menurut jenis dan tingkat pendidikan. Biaya total merupakan gabungan-gabungan biaya per komponen input pendidikan di tiap sekolah. Satuan biaya pendidikan merupakan biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk melaksanakan pendidikan di sekolah per murid per tahun anggaran. Satuan biaya ini merupakan fungsi dari besarnya pengeluaran sekolah serta banyaknya murid sekolah. Dengan demikian, satuan biaya ini dapat diketahui dengan jalan membagi seluruh jumlah pengeluaran sekolah setiap tahun dengan jumlah murid sekolah pada tahun yang bersangkutan. Perhtitungan satuan biaya pendidikan dapat menggunakan formula sebagai berikut:
Sb (s,t) = f [K (s,t) : M (s,t)]
Keterangan:
Sb : satuan biaya murid per tahun
K : jumlah seluruh pengeluaran.
M : jumlah murid
s : sekolah tertentu, t : tahun tertentu
Selain itu biaya pendidikan menurut nanang fattah tidak hanya berorientasi pada uang saja, tetapi juga dalam bentuk biaya kesempatan (oppurtunity cost) yang sering juga disebut income forgone (potensi pendapatan bagi seorang siswa selama ia mengikuti pelajaran, atau menyelesaikan studi). Yang dapat dihitung dengan formula berikut:
C = L + K
Keterangan:
C : biaya pendidikan
L : biaya langsung dan biaya tak langsung
K : jumlah rata-rata penghasilan tamatan.
D. Tujuan Analisis Manfaat Biaya
Setelah memahami bentuk biaya maupun cara perhitungannya, dan setelah sedikit dibahas di atas, tujuan dari analisis biaya adalah untuk memberikan kemudahan, memberikan informasi pada para pengambil keputusan untuk menentukan langkah/cara dalam pembuatan kebijakan sekolah, guna mencapai efektivitas maupun efisiensi pengolahan dana pendidikan serta peningkatan mutu pendidikan.
Secara khusus, analisis manfaat biaya pendidikan bagi pemerintah menjadi acuan untuk menetapkan anggaran pendidikan dalam RAPBN, dan juga sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas SDM dengan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sedangkan bagi masyarakat, analisis manfaat biaya pendidikan ini berguna sebagai dasar/pijakan dalam melakukan ”investasi” di dunia pendidikan. Hal ini dirasakan penting untuk diketahui dan dipelajari, karena menurut sebagian masyarakat pendidikan hanya menghabis-habiskan uang tanpa ada jaminan/prospek peningkatan hidup yang jelas dimasa yang akan datang.
Didefinisikan sebagai Biaya rata-rata per siswa yang dihitung dari total pengeluaran sekolah dibagi seluruh siswa yang ada di sekolah (enrollment) dalam kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui besarnya biaya satuan per siswa menurut jenjang dan jenis pendidikannya, akan berguna untuk menilai berbagai alternative kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Mendasarkan perhitungan pada keseluruhan jumlah pengeluaran pendidikan yang diterima dari berbagai sumber dana yang kemudian dibagi dengan jumlah murid.
Mendasarkan perhitungan biaya berdasarkan alokasi pengeluaran per komponen pendidikan yang digunakan oleh murid.








BAB III
CONTOH KASUS
A. Anatomi Biaya Pendidikan
Pembangunan pendidikan pada hakekatnya adalah pembangunan sumber daya manusia. Konsekuensi pembiayaan pembangunan pendidikan merupakan juga akumulasi akibat porsi anggaran pendidikan di Indonesia yang terlampau minim selama beberapa dekade. Hal itu semakin membuat mahalnya upaya revitalisasi pendidikan, termasuk di Kabupaten Banyumas.
Anatomi biaya pendidikan sekolah, khususnya di tingkat SD dan SMP atau yang sederajat pada umumnya meliputi :
1. Biaya sarana prasarana
2. Biaya gaji
3. Biaya operasional sekolah
4. Biaya pengembangan mutu
B. SARANA-PRASARANA
Prasarana meliputi :
1. GEDUNG

Ruang kelas atau ruang belajar
• Ruang laboratorium
• Ruang perpustakaan
• Ruang praktek senam
• Ruang praktek kesenian
• Ruang praktek ketrampilan
• Ruang multimedia
• Ruang pelayanan BK
• Ruang KS
• Ruang guru
• Ruang PPPK/UKS
• Kamar mandi/WC

2. LAPANGAN OLAHRAGA
* Lapangan sepakbola
* Lapangan tenis
* Lapangan basket
* Lapangan badminton
* Lapangan atletik lompat/loncat
3. LAHAN ATAU TEMPAT PRAKTEK
* Laborat IPA Fisika
* Laborat bahasa
* Lahan perikanan
* Lahan pertanian
* Lahan peternakan
Sedangkan sarana meliputi
Mebiler dan kelengkapan untuk :

Ruang belajar
• Ruang laboratorium
• Ruang perpustakaan
• Ruang praktek senam
• Ruang praktek kesenian
• Ruang praktek ketrampilan
• Ruang multimedia
• Ruang pelayanan BK
• Ruang KS
• Ruang guru

Biaya Kewajiban, Daya dan Jasa
• Listrik
• PAM
• Telepon dan jasa internet
• Paajak-pajak
• Peemeliharaan Gedung dan peralatan
• Rehabilitasi ringan
GAJI DAN TUNJANGAN
1. Gaji guru
2. Gaji karyawan
3. Insentif
BIAYA OPERASIONAL
1. Pendaftaran siswa baru
2. Rapat-rapat dan perjalanan
3. Komite sekolah
4. Kegiatan belajar mengajar
5. Kegiatan BK
6. Kegiatan pengembangan pribadi
7. Kegiatan ekstrakurikuler
8. Media pelajaran
9. Pengadaan buku pelajaran
10. Alat pelajaran
11. Alat laborat
12. Bahan praktek/laborat
13. ATK
14. Administrasi KS dan guru
15. Kegiatan outdoor
16. Penyelenggaraan uas
17. Penyelenggaraan ujian
18. Kegiatan studi tour
19. Kegiatan try out
20. Kegiatan lomba
21. Inhouse Training bagi guru
22. Kegiatan kerjasama lembaga dan kehumasan
BIAYA PENGEMBANGAN MUTU
1. Pembina dan pelatih
2. Penelusuran bakat dan minat
3. Training center
4. Pengiriman kontingen
5. Beasiswa
6. Bantuan khusus ssiswa
7. Pelatihan guru
8. Bintek guru dan pelatih
9. Lomba siswa, guru, dan sekolah
10. Pengembangan kurikulum
11. Akreditasi dan PKS
12. Pengembangan dan inovasi
13. Kerjasama sekolah/lembaga
14. Kepengawasan
15. Stimulasi, asistensi dan advokasi
16. Pengembangan tenaga non kependidikan
17. Pengembangan perpustakaan daerah
18. Pengembangan jaringan pendidikan nasional
19. Pengembangan sekolah standar nasional dan internasional
20. Pengembangan MGP/MGMP
21. Pengembangan K3S
22. Pengembangan MKPS
23. Pengembangan sekolah bercirikan khusus
24. Gaji tenaga pada dinas penddidikan dan UPK dan UPT
25. Biaya consultan hukum
26. Biaya consultan bangunan
27. Biaya consultan multimedia
28. Biaya consultan Klinis
29. Rehabilitás berat gedung/Ruang-ruang sekolah
30. Evaluasi dan monitoring
Selama ini sekolah memperoleh biaya dari :
1. Pemerintah Kabupaten
2. Iuran bulanan
3. Pemerintah Pusat dan bantuan lain
Dari sisi keluarga, pengeluaran biaya sekolah meliputi
1. Biaya Pendaftaran Sekolah
2. Biaya Pembelian Pakaian seragam/pakaian sekolah
3. Biaya Pembelian tas dan kelengkapan sekolah
4. Biaya iuran bulanan
5. Biaya transport
6. Biaya uang saku
7. Biaya Pembelian buku dan alat tulis
8. Biaya pembelian buku pelajaran/LKS
9. Biaya kegiatan praktikum
10. Biaya Kegiatan Ekstrakurikuler
11. Biaya UAS
12. Biaya les
13. Biaya kegiatan lomba
14. Biaya Studi Tour
15. Sumbangan incidental kegiatan sekolah
16. Biaya lain-lain
Unit cost
SD, Unit Cost per Siswa/tahun Rp. 1091.000,- sangat kurang, idealnya Rp. 1.500.000,-
MI, Unit Cost per Siswa/tahun Rp. 373.288,- sangat kurang, idealnya Rp. 1.500.000,-
SMP Negeri, Unit Cost per Siswa/tahun Rp.1.840.219,- kurang, idealnya Rp. 2.000.000,-
SMP Swasta, Unit Cost per Siswa/tahun Rp.756.244,- sangat kurang, idealnya Rp. 2.000.000,-
MTs, Unit Cost per Siswa/tahun Rp.701.255,- sangat kurang, idealnya Rp. 2.000.000,-
Pembiayaan ideal tersebut ternyata belum menghitung biaya Sarana Prasarana, gaji dan Pengembangan mutu. Artinya Unit Cost siswa siswa per tahun baru menghitung baru menghitung biaya operasional sekolah..
1. Sarana
Satuan-satuan pendidikan SD, MI, SMP, MTs juga menunjukan belum semuanya memiliki sarana dan prasarana standar.
Pendidikan yang baik tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi tidak tepat jika ada istilah pendidikan harus murah. Pendidikan murah hanya akan menghasilkan sumberdaya manusia yang tidak berkualitas. Yang manjadi masalah adalah biaya pendidikan sekolah itu dibebankan kepada siapa, apakah orangtua, masyarakat atau pemerintah. ataukah bersama secara proporsional.
Oleh karena itu program Pendidikan Gratis haruslah dimaknai semua biaya untuk kebutuhan itu dihitung dan dibiayai oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah.
Dalam pelaksanaan biaya-biaya Sarana-prasarana, gaji dan operasional harus diberikan langsung lepada sekolah, sedangkan biaya pengembangan mutu dikelola oleh dinas dan UPK/UPT non sekolah secara proporsional.
Pendidikan gratis dalam pelaksanaan juga dapat diartikan Pendidikan Gratis bagi Anak Kurang Mampu serta Anak Berbakat, sehingga dalam pelaksanaan terjadi pembiayaan subsidi silang. Dimana warga masyarakat yang mampu baik secara perorangan atau lembaga membantu kelompok lain. Pelaksanaan model yang demikian lebih menyentuh rasa keadilan.
Apabila program Pendidikan gratis tidak mempertimbangkan hal-hal tersebut, akan dapat memunculkan ketidak adilan, stagnasi mutu dan menurunnya kondusivitas iklim pendidikan. Dan itu sangat berbahaya akibatnya dalam jangka waktu panjang.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Biaya pendidikan dapat dikatakan memegang peranan penting dalam keberlangsungan pendidikan. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang bermutu juga tidak terlepas dari perencanaan anggaran yang mantap, alokasi yang tepat sasaran dan efektif sehingga membuat seluruh komponen lembaga pendidikan tersebut bersinergi dan memberikan hasil yang optimal dalam pencapaian tujuan.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa analisis manfaat biaya pendidikan menjadi bahan perhatian yang penting bagi pemerintah, masyarakat, dan para penyelenggara pendidikan untuk menentukan langkah progresif dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Fattah, Nanang, Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: PT.Rosda Karya, 2002)
Hallak, J, Analisis Biaya dan Pengeluaran Untuk Pendidikan (Paris: International Institute For Planning, UNESCO, 1985)
Supriadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT.Rosda Karya, 2003)
J. Hallak, Analisis Biaya dan Pengeluaran Untuk Pendidikan, (International Institute For Educational Planning, UNESCO, Paris:1985), h.1
Prof. Dr. Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung:2003), h.3
Nanang Fattah, Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung:2002), h.23

Tidak ada komentar: