Selasa, 10 Februari 2009

Pembaharuan Islam di Indonesia:

Pembaharuan Islam di Indonesia:

Meneropong Sosok Ahmad Wahib



Andriansyah



Abstract

This article explores Ahmad Wahib’s ideas on Islamic renewal in Indonesia. He was a Javanese (Indonesian) Muslim reformer that was hard trying to change Indonesian Muslim society with his full integrity and uniqueness, whereas Islamic renewal in Indonesia was an elite circumstances. It was easiest thing for Indonesian Islamic reformer to pursue modernity, as people in Western world (Christianity) did. However, Islamic renewal increasingly became complicated in the Muslim world. Even in Indonesia, there was an afraid to do it since it may could be judged as discrediting Islam. The locus of discourse in the Islamic renewal must be obey and in line with the unity and oneness of Islamic society (ummah) as a collective necessity. There are many disintegrations between Islamic societies because of this unfinished debate, even in the name of glorious of Islam. The unity and the oneness of Islamic society must be on top priority, since it was the basic needs. Henceforth, reformers of Islamic renewal stand on a dilemma between changing the society for its life today and reaching a sympathy of society for their holy task.



Keywords: Islamic renewal, Platonic love, independent man in new era, Ummah





“Now I see the secret of the making of the best person.

It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”

(Walt Whitman)







Sejarah peradaban atau apapun memang tidak selalu berjalan linear. Bak roda pedati yang sulit sekali pada tiap-tiap bagiannya mengalami keajegan final, kadang naik, kadang turun, kadang berhenti sejenak, dan seterusnya. Sesuatu yang sangat wajar, dan barangkali sudah terlalu biasa didengar. Demikianlah sebuah titah kehidupan yang mau tak mau diemban seorang anak manusia.



Begitupun persoalan pembaharuan dalam Islam, tak disangsikan lagi merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak terjadi. Pembaharuan bagi Islam seolah sudah menjadi determinasi sejarah. Ia terus dan akan selalu terjadi, kalaupun tidak, nampaknya memang mesti diadakan. Apalagi bila kata pembaharuan Islam disandingkan dengan hal mana dinamakan kemodernan—yang notabene anak kandung peradaban Barat.



Namun, nampaknya pembaharuan dalam Dunia Islam bukan soal diadakan atau tidak. Kalau persoalannya sekadar menjadi diadakannya pembaharuan atau tidak, agaknya membincang pembaharuan boleh dianggap selesai, dan lagi menjadi tidak menarik. Persoalan menjadi lain, manakala diajukan sebuah pertanyaan: bagaimana cara melakukan pembaharuan Islam itu?



Pertanyaan di atas amat krusial, bahkan membuahkan perdebatan yang tidak pernah selesai hingga kini. Banyaknya suara dengan mana pembaharuan Islam dilakukan, makin memperlambat perkembangan religiusitas Umat Islam. Dimana Umat seharusnya sudah melangkah ke tahap lanjutan ketimbang dengan hanya bergulat pada soal religiusitas. Kontestasi antara sikap kembali kepada tradisi, sebagai wujud sikap atas nama kebaruan Islam dengan sikap menerima kemodernan sebagai ‘jalan lurus’ sikap hidup, atau mengakomodasi keduanya, menjadi tema yang berkepanjangan. Karenanya pembaharuan dalam Islam, hingga kini, boleh dibilang baru pada tahap wacana. Kalaupun memunculkan gerakan, hal itu belum secara masif dilakukan.



Dalam menyikapi kemodernan, situasi dan kondisi Dunia Islam memang sangat berbeda dengan Barat. Berangkat dari tradisi yang berpijak pada doktrin Jesus “berikan apa yang menjadi hak kaisar pada kaisar, dan yang menjadi hak agama pada agama”. Barat lulus ujian mengatasi polemik pembaharuan keagamaan, meskipun tentu saja tidak kering dari tetesan tinta maupun darah selama berabad-abad lamanya. Sekularisme menjadi ajimat bagi Barat. Persepsi terhadap Isa As. yang dilihat tak lebih hanya sebagai pengemban titah keagamaan dan tidak termasuk pada masalah keduniaan, melepaskan Tuhan dari gerak sejarah. Keuntungannya, Barat tidak terus-menerus berpusar pada persoalan relijiusitas, hal ini sudah dianggap selesai. Preseden ini tidak terdapat dalam Dunia Islam. Muhammad Saw. tidak pernah secara tandas menegaskan, apakah ia pengemban titah keagamaan saja, dan ataukah juga terutus untuk menyelesaikan masalah-masalah keduniaan, dalam artian seluas-luasnya. Yang terlihat justru malah kedua-duanya. Pencitraan Muhammad Saw. seperti ini hampir dianut oleh sebagian besar Umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia.



Karena itulah gejala umum yang terjadi dalam Umat Islam, ketika mereka menghadapi situasi modern, masalahnya nyaris sama. Berputar dalam masalah langkah-langkah yang mesti dilakukan dalam melakukan pembaharuan. Sayangnya, sedikit sekali orang yang mau berkubang dalam upaya mencari yang sejati dari apa yang dinamakan pembaharuan Islam.



Pembaharuan Islam di Indonesia dari dahulu hingga kini memang sangat elitis sifatnya. Menempuh cara Barat dalam merengkuh kemodernan barangkali hal paling gampang digulirkan, namun apakah ia akan efektif di tengah basis material Umat yang sedemikian berbedanya dengan Barat. Jangan-jangan upaya untuk itu, hanya akan menjadi cemooh dan tuduhan upaya mendeskreditkan Islam. Karenanya dalam melakukan pembaharuan Islam, seseorang harus rela menyerahkan diri sepenuhnya dalam cita-cita itu, dengan segala resiko apapun yang bakal diterima. Juga harus bersedia memeras tenaga dan pikiran bagi pemecahan soal-soal bagaimana al-Qur’an hendak ditafsirkan, sejauh mana relevansi Hadits menjadi pedoman, dan dalam batas-batas mana nilai-nilai islam maupun sistemnya terwujud di tengah-tengah Umat. Dalam konteks Indonesia, hal ini masih ditambah satu lagi, yaitu perlunya mempertimbangkan kondisi masyarakat yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus memecahkan secara strategis pada persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syari’ah. Satu hal inilah yang menjadi pangkal perdebatan hingga kini. Konon hal ini disebabkan Islam di Indonesia sangat kuat menganut paham Sunni. Dimana kemudian, merujuk namanya, cita-cita Islam yang ideal haruslah Islam yang meniti pada tradisi sunnah Nabi, yang pelaksanaanya diupayakan dalam arti kolektivitas (jama’ah). Jadi, lokus perdebatan keharusan melakukan pembaharuan Islam, tidak boleh mengorbankan persatuan dan kesatuan Umat dalam kolektivitas. Kalau yang terjadi kemudian adalah berpotensi memecah Umat, sebaiknya ia tidak diupayakan. Maka, seorang pembaharu, mengalami dua dilema sekaligus: dilema memperturutkan dan memenuhi niat suci perubahan bagi Umat; dan dilema mencari anggitan yang paling dasar bagi upaya pembaharuan, yaitu dukungan Umat.



Ahmad Wahib

Dari sebagian orang yang mau berkubang dalam lumpur dilema diatas, tersebutlah nama Ahmad Wahib. Konon dari segi penampakan, pria yang dilahirkan pada tanggal 9 Nopember 1942 di kota Sampang, Madura ini, berperawakan kecil. Praktisnya sangat tidak meyakinkan orang, bahwa dalam dirinya terdapat gunung api yang sewaktu-waktu meledak terhadap pembaharuan Islam di Indonesia. Dalam catatan hariannya yang dibukukan, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, bagaimana diungkapkan jalan hidup yang ditempuhnya dalam strategi pembaharuan Islam di Indonesia menghadapi pemetaan Umat diatas. Pada tanggal 10 April 1972, ia menulis sebagai berikut:



Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita.

Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk: 1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun; 2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah.



Ahmad Wahib memang seakan sudah berjodoh akan menjadi orang ‘besar’ bagi orang-orang yang concern terhadap pembaharuan Islam Indonesia—paling minimal bagi pengagum pikiran-pikiran pembaharuannya. Ada baiknya terlebih dahulu kita lihat siapa sebenarnya ia.



Ahmad Wahib terlahir sebagai seorang Muslim yang juga Jawa. Laiknya anak-anak Muslim pada umumnya di Indonesia, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat kental dimensi keagamaannya. Apalagi ayahnya, Pak Sulaiman, merupakan seorang pemimpin sebuah pesantren yang sangat kuat pengaruh dan dikenal luas di kampungnya. Satu hal yang membedakan Wahib dengan anak-anak Indonesia lainnya, selain memiliki nasib baik, ia dididik dalam keluarga agamis, dididik dalam sikap keberagamaan ayahnya yang tebuka dan bebas. Ayahnya memang pengagum setia pemikiran-pemikiran pembaharu Islam asal Mesir, Muhammad Abduh. Sikap terbuka inilah yang memungkinkan Wahib menempuh pendidikan umum, berbeda dengan teman sebayanya yang tidak ada pilihan lain memasuki Madrasah (sekolah agama). Pendidikan umum ini, dijenjanginya sampai tingkat menengah atas. Selepas belajar di SMA Pamekasan, Ahmad Wahib melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia melanjutkan studi pada Fakultas Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gajah Mada (FIPA- UGM), sealur dengan pendidikannya ditingkat atas sebelumnya. Tidak banyak diketahui atas dasar apa kemudian, Wahib lebih memilih tinggal di asrama mahasiswa calon-calon pastur, Asrama Mahasiswa Realino. Dan pada saat yang sama ia putuskan memasuki organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), satu hal yang dalam beberapa segi merupakan bentuk komitmennya yang begitu tinggi terhadap Islam.



Seperti dikatakan A.H. Johns1, tindakannya memasuki HMI saat itu, merupakan sebuah tindakan berani. Sebab, pada dekade 60-an itu, terjadi polarisasi amat intensif dalam pergumulan politik, antara pihak kubu Soekarno bersama kelompok-kelompok nasionalis radikal dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan angkatan bersenjata, dan sayap politik Partai Masyumi yang terlarang, bersama partai-partai kecil lainnya, dipihak lain. Dan pilihan berjuang dalam lembaga Islam merupakan pilihan sulit. Terlebih lagi saat itu Masyumi, yang dianggap ikon pembaharu sekaligus ikon kekuatan Islam menyandang stigma buruk dimata penguasa, sebagai akibat lanjutan carut-marutnya politik sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Masyumi yang kala itu memperjuangkan syari’at Islam (sebagaimana disinggung diatas, pada lahan inilah pembaharuan banyak dilakukan), akhirnya dilikuidasi. Namun dihati Umat, Masyumi masih menjadi harapan tampilnya nuansa Islam dalam penggung nasional. Lewat underbouw-nya lah, seperti HMI, banyak diteruskan cita-cita perjuangan Masyumi. Dari sini Wahib, pada tahap selanjutnya, banyak disibukan untuk memikirkan dan mereka-reka dimanakah posisi ideologis Islam ditengah-tengah beraneka warna ideologis era 60-an. Iklim kondusif Yogyakarta turut pula membentuk dirinya dalam pikiran, sikap maupun perbuatan. Selain aktivismenya yang berkobar-kobar di HMI, ia mencari bahan bakarnya dalam diskusi-diskusi kelompok studi terbatas Limited group. Disinilah bermulai pikiran-pikirannya yang liar namun menggugah. Dalam forum ini pula gambaran bagaimana concern-nya terhadap Islam makin menjadi-jadi. Nilai lebihnya, dalam forum ini pula dimungkinkan pengungkapan segala unek-unek yang dirasakan setiap anggotanya, mulai dari masalah-masalah teologis samapi hal-hal yang bersangkutan dengannya, hal mana tidak lazim bagi kebanyakan Umat Islam saat itu untuk dipertanyakan. Namun, lama kelamaan, Yogyakarta tidak dirasakannya menantang dan memberi inspirasi lagi. Dalam catatan hariannya pada tanggal 5 Juli 1969, ia menulis:



Aku sudah terlalu lama di Yogya. Dia sudah terlalu kering buat suatu inspirasi. Bagiku kota ini tidak inspiratif lagi. Kapankah keinginanku intik menjelajah dunia ini bisa terlaksana?

Aku benci homogemitas dan suasana monoton. Aku ingin mencari lingkungan baru yang masih kaya akan inspirasi.



Tahun 1971, akhirnya ia mencoba mencari lautan inspirasi di kota bernama Jakarta, dan mulai memikirkan bagaimana merancang masa depannya. Sambil mencari pekerjaan, ia seringkali mengikuti kuliah-kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) dan mengikuti diskusi-diskusi di rumah Dawam Rahardjo, kawan lamanya di HMI cabang Yogyakarta dulu.



Masa-masa di Jakarta boleh dibilang masa-masa sulit baginya. Sampai suatu ketika, seorang pengendara motor berkecepatan tinggi menabraknya di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Hari itu, tanggal 31 Maret malam tahun 1973, Wahib, seorang calon reporter Majalah Tempo, menghembuskan napasnya yang terakhir.



Manusia Merdeka di Jaman Baru

Kalau saja Wahib tidak menulis catatan harian, dan atau kalaulah Djohan Effendi, teman dekatnya, tidak dapat menemukan catatan-catatan itu, barangkali Wahib tidak akan dikenal sebagai seorang yang amat concern terhadap pembaharuan Islam. Apalagi dengan terbitnya buku catatan harian Wahib, sedikit banyak memiliki gaung gelombang yang resonansinya mengena banyak kalangan anak-anak muda sesudahnya.



Seperti dikatakan Walt Whitman, manusia besar selalu lahir dari alam, barangkali lebih tepat lagi pengalaman. Kehidupan Wahib yang seorang muslim, seorang yang berbudaya Jawa, ditambah pergaulannya dengan orang-orang Katolik langsung dari kantong-kantongnya, pergulatan dalam HMI, menjadikannya manusia yang berdaya serap tinggi yang tidak pernah kehilangan dahaga. Pada 6 Oktober 1969, ia menulis:



…Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan.



Dengan belajar dari kehidupan yang ia lambarinya secara langsung, menjadikannya manusia yang siap menampung segala hal, yang dalam bayangan orang lain barangkali tidak mungkin. Bahkan ia sampai pada tekad enggan untuk dikotak-kotakan kedalam golongan tertentu masyarakat. Ia menginginkan orang lain menerimanya dalam arti manusia sesungguhnya. Manusia yang tidak berbeda hanya karena ideologi dan keyakinan yang dinautnya. Pada 9 Oktober 1969, ia menulis:



Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.

Memahami manusia sebagai manusia.



Agaknya Wahib sudah sangat bosan mendapati sikap-sikap orang sekelilingnya yang cenderung menilai orang lain bukan karena pribadinya tapi lebih karena kepada apa orang itu berafiliasi. Secara kontekstual, pendirian Wahib ini mendapat relevansinya dengan keadaan politik 60-an yang sangat carut-marut. Berbagai faksi politik saling curiga mencurigai satu dengan lainnya, bahkan sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.



Masa-masa ini merupakan masa paling bergejolak dalam sejarah Indonesia. Luka psikologis yang dialami Wahib, yang disebabkan oleh kenyataan yang nampak dihadapannya mulai dari krisis ekonomi yang sedemikian parah, intrik politik yang melahirkan kup oleh PKI pada 1965, pembantaian atas orang yang dituduh sebagai PKI setelah gagalnya kup tersebut, mengajarkannya banyak hal, yang mendorong segenap energinya untuk berbuat sesuatu untuk bangsanya. Dan yang paling dekat ialah pembaharuan pemahaman terhadap Islam.



Pemuda yang hidup masa sebaya Wahib, seperti diutarakan oleh penggerak pembaharuan lain, Soe Hok Gie, merupakan manusia-manusia baru. Bahkan, barangkali generasi baru, atau lapisan baru seperti termuat dalam pengantar redaksi Kompas pada Agustus 1969, yang dikutip oleh Daniel Dhakidae:



Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda, pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945__generasi kemerdekaan Indonesia2.



Generasi-generasi baru ini, seperti diungkap Daniel Dhakidae, adalah:



Mereka bukan orang yang takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir Ali Sjahbana; mereka bukan “pemuda bambu runcing”; mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap “kejayaan Indonesia di masa depan”; mereka dalah generasi yang dibius oleh semangat “progresif revolusioner” model Soekarno; tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu3.



Kenyataan pahit yang terjadi terhadap bangsanya sendiri barangkali hal biasa. Masa kemerdekaan, kenyataan tersebut boleh dibilang santapan dari hari ke hari. Namun tragisnya, kesengsaraan dan kepedihan itu bukan disebabkan oleh bangsa lain, tapi oleh anak-anak bangsa yang dulu berjuang untuk rakyat. Tunas idealisme yang dulu ditanamkan kepada kalangan muda ditanggalkan pada saat belum lagi kokoh menghujam ke langit. Wahib merupakan salah seorang dari berjuta pemuda Indonesia yang mengalami ‘pengkhinatan’ dari elite bangsanya sendiri. Pernah suatu ketika, dalam catatan hariannya pasa 6 Juni 1969, ia berujar:



Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?



Pada 20 Pebruari 1970, Wahib menulis:



Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggung jawab.

Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potent untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata menjadi pelempar tanggung jawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua, haros tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini dan menegakan suatu masyarakat yang bertanggung jawab.



Sikap berdiam diri jelas bukan prototype Wahib. Sebagaimana maklum, ia akhirnya memasuki HMI sebagai wahana perjuangannya. Namun begitu, ia masih sangat menaruh harapan besar terhadap insan-insan kreatif yang tidak kenal lelah untuk membangun cita-cita. Romantisme terhadap apapun hanya akan menjadi apologia. Dan sikap apologia inilah sebenarnya yang menjadikan bangsa Indonesia, dimana Umat Islam bagian terbesarnya, terlalu depensif dalam hidup. Umat Islam hanya bisa sebatas reaksi ketimbang melakukan aksi. Karena itu menjadi manusia yang merdeka, otonom, harus menjadi cita-cita dan segera diwujudkan dalam alam pembaharuan. Untuk itu Wahib, menulis pada 16 Agustus 1970, sebagai berikut:



Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif.







Cinta Platonik

Seringkali dalam kehidupan, kita dihadapkan pada banyak hal yang tak terduga, dari semula yang begitu matang direncanakan. Sosok Wahib yang sangat sederhana, barangkali bersahaja, sama halnya dengan cara pandang hidupnya. Wahib bukanlah seseorang yang selalu mesti menetapkan dirinya berpikiran hal-hal yang besar. Ia sepenuhnya sadar akan begitu lemah kemampuan komunikasinya dengan orang lain. Ini menjadi ciri tersendiri buatnya. Wahib sampai suatu ketika juga sepenuhnya insaf bahwa selama ini hanya banyak berolah rasa dengan dirinya sendiri, hal mana menjadi titik kelemahan yang diakuinya sedikit banyak menghambat kemajuan dalam pendekatan ide-idenya.



Kelemahannya ini membuat Wahib tidak pernah menemukan cinta sesungguhnya pada seorang wanita khusus, seolah ada saja ketakutan yang serba nir alasan. Pada tahap tertentu, ketakutan itu terjadi lebih karena umurnya yang sudah cukup dewasa, namun belum ada kejelasan untuk memiliki teman hidup. Sehingga, ketakutan-krtakutannya itu kerap mewujud dalam mimpi-mimpinya. Tulis Wahib pada tanggal 26 Maret 1969:



Aku terbangun oleh mimpi yang mengerikan setelah 4 jam tidur malam ini. Masih jam 2.15. Aku kesal menunggu pagi. Aku teringat pada...yang mengembalikan aku pada kenangan masa kanak-kanak di mana aku baru mengenal cinta dari buku-buku komik dan roman murahan. Oh, aku teringat pada rambutnya yang mayang mengurai, warna keputih-putihan pada pipinya dan tubuhnya yang tidak begitu langsing. Aku teringat bagaimana dia bermain-main dihalaman rumahku. Aku tak tahu lagi di mana dia sekarang. Ah, romantisitas sekali menoleh masa lalu. Adakah ini tanda-tanda bahwa aku telah apologetik dalam erotik? Apologetik yang kubenci? Tidak, aku tak mau apologi. Aku akan berjuan keras menghadapi masa kini dan nantiku.



Cinta yang sebatas pergulatan dalam “ideation” itulah yang nampaknya mengungkungi Wahib, tidak hanya pada ketika ia mencintai lawan jenisnya saja. Pada banyak hal pun ia mengalami itu. Bagaimana misalnya kecintaannya pada HMI. Keinginannya untuk melakukan pembaharuan di tubuh HMI, akhirnya hanya menjadi angan-angan yang tak pernah kesampaian. Eksodusnya Wahib dari HMI, pasti bukan karena ia sudah tidak kerasan di dalamnya. Lebih dari apapun kecintaanya pada HMI tidak pernah luntur. Sayangnya, seperti kepahitan hidup yang kerap dirasakannya, ia harus menghadapi situasi yang serba dilematis antara mempertahankan idealisme, keterbukaan, kebebasan, dengan berdiam diri ditengah-tengah ketidak wajaran yang terjadi di lingkungannya sendiri.



Wahib memendam penyesalan yang dalam, sebab ikrar cinta sucinya bersama HMI dihalangi dan tidak diberi ruang pemuasannya. Dalam pada itu, dia menulis dalam bentuk aforisme pada 14 Agustus 1969:



HMI bukan sekedar alat

yang bisa diganti dengan lain alat

HMI bukan sekadar saluran

yang bisa ditukar bergantian

terasa...HMI telah menjadi nyawa kita

HMI telah ada dalam urat dan nadi kita

dia ada dalam keriangan kita

dia ada dalam kesusahan kita

dia ada dalam kecabulan kita

dia ada dalam ke kanak-kanakan kita

HMI telah menghisap dan mengisi jaluran-jaluran darah kita



walaupun begitu perpidahan ini kita lakukan juga

kita tidak boleh tercekam oleh emosi

yang akan membuat kita terus termangu,

keragu-raguan dalam perpisahan

relakanlah segalanya

buat yang masih tinggal



Dalam keadaan seperti ini Wahib sepertinya merasakan kesepian amat dalam, bahkan kadang merasa pula keadaan frustasi akan kepahitan hidup. Namun bukan sikapnya pula ia pantang menyerah. Satu hal yang amat disesalinya ialah bila orang lain menanggung hasil-hasil perbuatannya yang berdampak negatif, tidak lebih dari itu ia selalu menghadapi kepahitan dengan selalu tersenyum. Yang paling dikhawatirkan Wahib mengenai kepahitan hidup yang silih berganti mendera, adalah kehilangan pembacaan onjektif terhadap gejala sosial yang masih tetap dipegangnya. Oleh sebab itu, ia mencari pemecahan lain yang bertujuan menjaga tingkat objektivitas pandangannya sekaligus mempertajam analisa pemahamnnya. Ia tuliskan hal ini pada 20 April 1970, demikian:



Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindari teris-menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani dan roahani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi.

Saat itu adalah saat yang paling pahit.



Penutup

Agak sulit mengukur sejau mana posisi Wahib dalam pembaharuan Islam. Namun, paling tidak kita dapat melihatnya dari respon Umat Islam terhadapnya tidak lama setelah catatan hariannya dibukukan. Penerbitan buku ini bukan hanya mengundang polemik, tapi juga ‘shock’ ditengah-tengah Umat Islam. Persis seperti yang pernah disinyalir olehnya, bahwa terkadang kita harus melakukan kejutan-kejutan terhadap kejumudan cara pandang Umat. Sampai akhir hayatnya pun ternyata Wahib masih setia dalam garis perjuangannya.



Dalam hal pemikiran keagamaan, khususnya keislaman, Wahib sampai saat ini memang masih menyisakan semangat ‘pemberontakan’ keagamaan, meskipun baru terjadi pada kantong-kantong komunitas masyarakat scope terbatas. Agaknya pembaharuan Islam Indonesia dalam taraf tertentu memang agak tehambat. Sebabnya boleh jadi karena pendekatan kaim pembaharu terkadang tidak simpatik, apalagi kebanyakan mereka tidak menghujam dalam pada segi pengaruh. Kekhawatiran ini sebenarnya yang didedahkan Wahib semasa hidupnya.



Pembaharu Islam sampai saat ini, nampaknya masih tetap berkutat dalam wacana ketimbang aksi. Sehingga banyak orang yang kontra-pembaharuan mengatakan bahwa model “rethinking” Islam—menempatkan Islam sebagai fakta sejarah—dalam pembaharuan Islam saat ini hanya mengganti kemasan tidak pada isi.



Agaknya yang belum dilakukan Wahib dalam pembaharuan Islam adalah berusaha melakukannya pada basis dan dari masyarakat itu sendiri. Tidak bijak juga mempermasalahkan persoalan Umat dengan tidak melibatkan Umat. Partisipasi masyarakat pada akhirnya mau tak mau harus dipertimbangkan dalam proses pembaharuan Islam. Wallahu a’lam bi al-shawab.





Catatan:


1 A.H. Johns, Sistem Atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Catatan Harian Ahmad Wahib, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, vol II, no.2,Th.1992

2 Daniel Dhakidae, Soe Hok Gie: Sang Demonstran, dalam pengantar Soe Hok Gie: Catatan Seorang Deminstran, (Jakarta: LP3ES,1993)

3 Ibid.



Andriansyah, tokoh muda Bekasi, alumnus PP Annida ul-Islamy, Bekasi. Kini tengah menyelesaikan studinya di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada jurusan Tafsir Hadits





© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia



Kembali ke Daftar Isi

TELAAH PERAN NU DAN MUHAMMADIYAH[1]

ISLAM DAN PEMBERDAYAAN POLITIK UMAT:
TELAAH PERAN NU DAN MUHAMMADIYAH[1]


Fachry Ali


Abstract

This article explored Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah’s role in context of Indonesian society’s political empowerment. Islam and Indonesian Muslim stated to have power auomatically, as seen in either Nahdlatul Ulama or Muhammadiyah’s role in Indonesian politic. Both mass organizations are more success to play “political role” without being political party officially. In this context, Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah become representative of authoritative non-state powers, either in domestic level, vis-à-vis state, or in international level to play ‘supra’ power





Keywords: political role, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, ummatan wahidah, non-state power, civil society


I



Baik karena substansi ajarannya mau pun karena jumlah penganutnya Islam dan umat Islam secara otomatis telah menjadi kekuatan politik tersendiri. Elaborasi di bawah ini berusaha memaparkan pernyataan hipotesis di atas, yang dimulai dengan tinjauan aspek substansi ajaran kemasyarakatannya. Melalui substansi ajaran Islam tentang perkauman, kita menemukan konsep ummatan wahidah. Lepas dari pengertian lainnya, konsep di atas mengandung elemen ideologis. Kendati pun secara harfiah ummatan wahidah bisa diterjemahkan sebagai “kesatuan komunitas” atau “komunitas yang satu”, secara konseptual gagasan tersebut bermakna lebih dalam daripada hanya kumpulan fisik. Melalui konsep ummatan wahidah struktur fisik komunitas Islam secara spritual mengalami peneguhan teologis: bahwa kesatuan yang dimaksud harus didasarkan pada persamaan imani —bukan karena persamaan kepentingan material. Ummatan wahidah, dengan demikian, lebih dihayati sebagai sebuah “persekutuan suci” yang bersifat distinktif —dan karenanya niscaya berbeda dengan kesatuan-kesatuan lainnya. Konsekuensi teoritis ummatan wahidah ini adalah bahwa segala perbedaan di antara sub-sub kelompok di dalamnya, atau, seperti dinyatakan Halliday dan Alavi, “different socieities and distinct historical epochs,”[2] harus dilebur dan ditransendensikan.



Dalam konteks antropologi, karakteristik kesatuan yang begitu khusus ini hanya mungkin terjadi karena bekerjanya sacred symbols (simbol-simbol suci) yang mengikat mereka bersama. Operasionalisasi dari the biding force of these sacred symbols ini terejawantahkan pada kemunculan sintesa antara etos (ethos) dan pandangan hidup (world view) yang spesifik di kalangan pemeluk agama tertentu. Antropolog Clifford Geertz melihat etos sebagai “sifat, karakter dan kualitas kehidupan pemeluk, wujud moral, estetika dan suasana jiwa.” Sedangkan pandangan hidup dilukiskan sebagai “gambaran yang dimiliki para pemeluk tentang keadaan yang sebenarnya, gagasan paling komprehensif mereka tentang tatanan kehidupan.”[3]



Apa yang penting ditekankan di sini adalah sintesa dan saling menguatkan antara etos dan pandangan hidup yang terbentuk melalui ajaran agama ini telah memberi arti paling distinktif dalam konteks konsep ummatan wahidah di atas. Elaborasi deskripsi Geertz ini membawa pada pengertian bagaimana spesifiknya struktur psikologi dan budaya penganut agama tertentu ketika etos dan pandangan hidup bertemu dan membentuk realitas tersendiri. Di sini Geertz menyatakan bahwa kepercayaan dan praktek keagamaan etos sebuah kelompok dibuat bisa terpahami secara intelektual dengan memperlihatkannya sebagai cara hidup yang secara ideal sesuai dengan struktur kejadian nyata (the actual state of affairs) —sebagaimana dilukiskan pandangan hidup. Sementara, pandangan hidup itu sendiri dibuat meyakinkan secara emosional (emotionally convincing) dengan menghadirkannya sebagai citra atau bayangan dari struktur kejadian-kejadian aktual yang secara khusus terkelola baik untuk mengakomodasikan cara hidup semacam itu.[4]



Jika kita kembali kepada konsep ummatan wahidah dalam Islam di atas, maka kombinasi hasil kinerja etos dan pandangan hidup tersebut telah menstrukturkan wujud kesatuan komunitas yang diserukan itu ke dalam bingkai kepaduan yang ketat. Dan dalam karakteristik kesatuan yang begitu khusus inilah struktur ummatan wahidah dengan sendirinya sangat berarti politis dan ideologis. Sebab struktur kesatuan masyarakat tersebut niscaya mengandung daya komando yang besar (the power to command), dan karena itu pula juga berdaya panggil massif terhadap kekuatan massa bagi proses mobilisasi dan pengorbanan. Suatu keadaan yang bagaimana pun juga sarat dengan semangat politik dan kekuasaan. Dalam konteks inilah kita memahami mengapa daya komando ini bisa bertahan untuk rentang waktu yang cukup lama dalam memobilisasikan perlawanan terhadap kaum kolonial, seperti diperlihatkan gerakan kaum sufi atau tarekat Aljazair terhadap imperialisme Perancis.[5] Dan kenyataan ini pula yang memberi dasar, seperti dinyatakan Keyes dan kawan-kawan, mengapa otoritas agama secara terus-menerus menjadi pesaing otoritas negara-negara modern.[6]


II



Dalam konteks Indonesia, karakteristik substansial di atas menjadi lebih signifikan secara politik, semata-mata karena pengikut atau penganut ajaran ini merupakan mayoritas penduduknya. Di mana pun juga, agregasi penduduk dalam jumlah besar senantiasa menggoda secara politik. Godaan ini akan semakin besar karena kemampuan kaum Muslimin mengorganisasikan diri telah teruji dalam sejarah. Sejak awal abad lalu, kemampuan pengorganisasian diri kaum Muslimin ini telah terlihat ketika Sarekat Islam (SI), pada 1912, lahir. Hanya dalam beberapa tahun sejak kelahirannya, seperti dicatat Kahin, SI berhasil mengakumulasi 2,5 juta anggota,[7] sebuah hal yang fantastis dan tampak terlalu modern kala itu, untuk sebuah masyarakat yang struktur kependudukannya masih didominasi lapisan petani. Sifat modern dari kemampuan pengorganisasian diri ini terlihat dari latarbelakang sebagian besar anggota SI yang telah memiliki, apa yang disebut Wertheim, bourgeois traits, dan karenanya mempunyai visi kesadaran kelas. Di samping berusaha mengeliminasikan pengaruh kaum feodal dan pemimpin-pemimpin pribumi tradisional, SI juga mengarahkan aksinya menentang dominasi raksasa kapitalis Barat.[8]



Lepas dari berbagai penafsiran lainnya, kita bisa meletakkan Masyumi (lahir 7 November 1945) sebagai kelanjutan kemampuan pengorganisasian diri kaum Muslimin secara politik, setelah kemerdekaan. Sebagai saluran politik tunggal bagi seluruh faksi-faksi dan aneka golongan Islam, Masyumi “sempat” berkembang menjadi salah satu pilar kekuasaan nasional yang disegani pasca kemerdekaan. Walau menggambarkan kegamangan posisinya secara kultural, Anderson menyebut Natsir, pemimpin puncak Masyumi kala itu, sebagai “the most prestigious Moslem politician of the postindependence period.”[9] Kenyataan ini mendorong Presiden Soekarno —yang berbagi kekhawatiran dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) terhadap semakin meluasnya pengaruh partai Islam ini— mengecam gagasan Negara Islam dalam pidatonya di Amuntai pada 1952, sebagai upaya mengerem laju perkembangan pengaruh partai politik ini.[10] Dan, seperti halnya dengan SI yang telah memiliki konstituen dari kalangan borjuasi, Masyumi mendapatkan dukungan luas dari kalangan kota, kaum pedagang dan lapisan terdidik Islam. Di atas segala-galanya, Masyumi lebih terlihat sebagai —meminjam istilah Duverger— a party of indirect structure, dalam arti memiliki keanggotaan yang bersifat korporasi (corporate members), di samping keanggotaan individual.[11] Ini berarti konstituen Masyumi telah memiliki kualitas tertentu dalam kemampuan pengorganisasian diri. Sebab dengan memiliki corporate members, telah menyebabkan Masyumi, pada masa itu, menjadi satu-satunya partai politik yang didukung oleh berbagai kalangan —tak kurang dari sebelas organisasi keagamaan, sosial dan pendidikan di mana Muhammadiyah dan NU merupakan yang terpenting.[12]



Namun, yang paling fenomenal dari seluruh gejala kemampuan pengorganisasian diri kalangan Islam ini adalah kehadiran chapter members (anggota utama) Masyumi itu sendiri: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Karena telah hampir menjadi “pengetahuan umum”, tidaklah pada tempatnya memaparkan kembali proses kelahiran dan perkembangan kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu dalam kalam sederhana ini.[13] Apa yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa kedua organisasi tersebut, sampai pada taraf tertentu, tidak melibatkan diri ke dalam dunia politik secara langsung.[14] Meski pun demikian, melalui gerakan dan pengaruh sosial-keagamaan mereka yang meluas, keduanya telah mengambil peran yang jauh lebih besar daripada sosok fisik masing-masing organisasi tersebut. Muhammadiyah, di satu pihak, yang lahir dan menjalarkan pengaruhnya di wilayah perkotaan, telah berperan sebagai penyebar gagasan negara modern Indonesia di kalangan kaum terdidik, antara lain, melalui pembiasaan membuat laporan-laporan dan publikasi organisasi dalam bahasa Indonesia di masa kolonial.[15] NU, yang memiliki akar pengaruh di kalangan massa pedesaan, di pihak lain, melalui para kiai, telah bertindak sebagai cultural brokers —menggunakan istilah Geertz— yang menerjemahkan gagasan-gagasan abstrak tentang politik modern dan arti negara-bangsa kepada kalangan luas yang umumnya “tak terdidik” di awal kemerdekaan.[16] Tanpa fungsi brokerage mereka, proses sosialisasi konsep “Indonesia” yang diperkenalkan kaum intelegensia —tetapi pada umumnya terasing dari masyarakat, karena lebih fasih berbahasa Belanda daripada bahasa Indonesia,[17] apa lagi bahasa lokal— terlalu lama untuk tertanam dalam sistem kognisi massa jelata yang terbelakang.



Dengan mendeskripsikan peranan Muhammadiyah dan NU dalam histoire mentalitè (sejarah kesadaran) masyarakat Indonesia, kita ingin menekankan bahwa keduanya lebih berhasil memainkan “peran politik” —daripada partai-partai politik Islam itu sendiri— tanpa menjadi organisasi politik secara resmi. Kendati pun harus disadari bahwa partai-partai politik Islam telah menjadi “wakil kaum Muslim” dalam permainan kekuasaan pada tingkat negara —dan karenanya tak terbayangkan nasib politik umat Islam tanpa kesempatan mereka berkinerja di parlemen, misalnya— namun dalam konteks wacana, publik jauh lebih mendengar seruan-seruan moral dan intelektual Muhammadiyah dan NU, daripada kekuatan-kekuatan politik resmi. Dan jika disadari bahwa dalam kenyataannya Muhammadiyah dan NU bukan saja hadir jauh lebih awal, melainkan memiliki nafas kehidupan yang juga jauh lebih panjang dari partai-partai politik Islam, maka kedua organisasi nonpolitik ini, telah terbukti dalam sejarah sebagai kenderaan yang cocok bagi wahana pemberdayaan politik umat Islam.



Dengan kalimat terakhir di atas kita ingin menyatakan bahwa pembahasan tentang pemberdayaan politik umat Islam tidaklah hanya bertumpu pada organisasi politik resmi. Bahwa di dalam kenyataannya, aksi-aksi politik yang distrukturkan oleh ideologi Islam —lepas dari aneka persepsi tentangnya— cenderung “berumur pendek”. Untuk sebagian, kenyataan ini dapat dijelaskan dengan logika sederhana, bahwa sekali sekelompok agama memasuki wilayah politik resmi, maka sekali itu mereka telah memasuki “wilayah peperangan”. Hukum besi peperangan hanya menawarkan satu alternatif: Anda akan survive jika Anda keluar sebagai pemenang! Dan, seperti diperlihatkan dalam sejarah, hukum besi tersebut tidak atau belum berpihak kepada Islam politik.[18] Dalam konteks inilah Muhammadiyah dan NU menjadi saluran alternatif proses pemberdayaan politik umat Islam —tanpa harus terjun ke duania politik secara resmi.



III



Akan tetapi harus cepat-cepat dikatakan di sini bahwa survivalitas Muhammadiyah dan NU pada dasarnya adalah karena keduanya menghindari “wilayah peperangan” itu. Dan karena itu pula “nafas panjang” Muhammadiyah dan NU pada intinya tidak substansial. Apa yang untuk sementara kita catat adalah bahwa keduanya hanya mampu bertahan, dan gagal memperluas pengaruhnya secara lebih monumental. Konsentrasi yang melulu terfokus pada wujud diri dan lingkungan sejarah, telah memberikan kontribusi besar akan tak ekspansifnya peran Muhammadiyah dan NU secara lebih substansial —karena sementara ini hanya mampu memberikan reaksi terhadap sinyal-sinyal tantangan yang datang dari luar diri mereka.



Kendati pun demikian, peluang untuk “menang” secara substansial dalam proses pemberdayaan politik umat bukan tak bercelah. Salah satu celah yang terkuak terletak pada fakta bahwa wilayah politik yang substansial tak lagi tergambar dalam bentuk peta masa lampau. Peta baru politik dewasa ini ditandai oleh tiga hal paling pokok. Pertama, munculnya sebuah kenyataan yang agak kontradiktif: melemahnya kekuatan negara tanpa diimbangi oleh munculnya organisasi kemasyarakatan yang kuat, yang menyebabkan, seperti dinyatakan Goenawan Mohamad, politik nasional telah menjadi “a competition between disconnected desires.”[19] Kedua, semakin besarnya pengaruh-pengaruh kekuatan internasional ke dalam percaturan politik domestik. Ketiga, semakin tergantungnya survivalitas sebuah rezim pada tingkat domestik terhadap preferensi aktor-aktor ekonomi transnasional.[20] Ketiga variabel di atas bekerja secara simbiosis membentuk struktur atau susunan-susunan kekuatan politik baru pada tingkat nasional —walau formatnya belum terlihat dengan mapan.



Tentu saja, dua variabel terbawah telah menjadi masalah besar, yang bahkan untuk sebuah negara adijaya seperti Amerika Serikat sekali pun tak mampu mengatasinya.[21] Akan tetapi untuk variabel pertama di atas, Muhammadiyah dan NU bisa memainkan peranan besar. Dalam situasi di mana negara tak lagi mampu berartikulasi dengan maksimal, sementara old social control, meminjam istilah Migdal,[22] tak lagi mempunyai daya, kedua organisasi ini justru bisa berperan sebagai kekuatan civil society yang signifikan. Situasi lemahnya baik negara maupun sistem kontrol sosial tradisional telah menimbulkan kekaburan orientasi dan tatanan kemasyarakatan, di mana kekuatan-kekuatan sosial-politik, ekonomi dan budaya bergerak tanpa arah. Maka, persis seperti dimiliki kaum militer, hanya Muhammadiyah dan NU-lah yang mempunyai kekuatan lebih terorganisasi di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, keduanya secara potensial bisa tampil sebagai the leading groups dalam proses restrukturisasi pelataran keidupan sosial-budaya dan politik—di atas mana, negara dan kelompok-kelompok masyarakat berkinerja.



Dalam konteks ini, Muhammadiyah dan NU bisa bertindak sebagai wakil kekuatan-kekuatan nonnegara yang otoritatif, baik dalam berhadapan dengan negara pada tingkat domestik mau pun kekuatan-kekuatan “supra” pada tingkat internasional. Untuk sementara, potensi semacam ini telah mulai terlihat. Di satu pihak, sebagaimana telah disinggung di atas, suara-suara Muhammadiyah dan NU jauh dianggap mempunyai otoritas moral dan intelektual dibandingkan dengan hampir semua kekuatan-kekuatan politik resmi di Indonesia. Di pihak lain, walau tetap untuk kepentingan domestik Indonesia, suara keduanya bukan hanya telah juga menjadi referensi pada tingkat duta besar negara-negara Barat —yang datang berkunjung dan berdialog. Melainkan juga telah menarik perhatian menteri luar negeri Inggris dengan mendatangi dan membeberkan rencana dan visi negara-negara “penguasa dunia” (Amerika dan Inggris) kepada mereka —walau untuk sementara, masih terbatas pada urusan perang melawan rezim Saddam Hussen dari Irak.



Jika Muhammadiyah dan NU berhasil mengarungi peran baru ini, maka akibat-akibat positifnya jelas jauh lebih strategis dan bermakna serta lebih substansial bagi proses pemberdayaan politik umat Islam. Sebab aktivitas “politik” semacam ini tak lagi menyangkut persoalan kepentingan kekuasaan dalam pengertian harfiah. Melainkan menyangkut kepentingan kelanjutan demokrasi dan keselamatan kemanusiaan secara keseluruhan.



Catatan Akhir:


[1] Pernah disampaikan dalam program Diskusi Serial bidang Politik International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 16 Januari 2003.

[2] Fred Halliday dan Hamzah Alavi, “Introduction”, untuk buku suntingan mereka, State and Ideology in the Middle-East and Pakistan (houndmills, Basingstoke, Hampshire RG 21 2XS and London: McMillan Education, 1988), hlm. 2.

[3] Clifford Geertz, “Religion As a Cultural System”, dalam Clifford Geertz, The Interpretation of (London: Fontana Press, 1993), hlm. 89

[4] Geertz, Religion As…,” hlm. 90.

[5] Lihat, misalnya, Julia Clancy-Smith, Saints, Mahdis and Arms: Religion and Resistance in Nineteenth-Century North Africa”, dalam Edmund Burke, III, dan Ira M. Lapidus, (peny.), Islam, Politics, and Social Movements (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1988), hlm. 60-80.

[6] Charles F. Keyes, Hellen Hardacre, dan Laurel Kendall, “Contested Visions of Community in East and Southeast Asia”, dalam buku suntingan mereka, Asian Visions of Authority, Religion and the Modern State of East and Southeast Asia (Honolulu: University of Hawaii Press, 1944), hlm. 1-18.

[7] George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1970, hlm. 66.

[8] W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition. A Study of Social Change (Bandung: Sumur Bandung, Edisi Kedua, 1956), hlm. 185.

[9] Lihat Benedict R’OG Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culuture”, dalam buku kumpulan karangannya, Language and Power. Exploring Political Culture in Indonesia (Ithaca dan London: Cornell University Press, 1990), hlm. 72. Lihat terutama catatan kaki no. 108.

[10] Tentang efek dari pidato ini, lihat Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal. Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton (Jakarta: LP3ES, 1992). Terutama lihat “Presiden Sukarno dan Negara Islam”, hlm. 121-133.

[11] Di sini, Duverger menunjuk partai-partai berorientasi Sosialisme dan yang berorientasi Katolik sebagai contoh party of indirect structure. Keduanya dianggotai oleh berbagai organisasi buruh, pedagang dan lainnya, untuk partai-partai sosialis, dan organisasi-organisasi keagamaan untuk partai-partai Katolik. Lihat Maurice Duverger, Political Parties (London: Metheun & Co., 1964), hlm. 6.

[12] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Itacha, New York: Cornell University Press, 1962), hlm. 134-135.

[13] Penjelasan lebih lengkap tentang ini, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980). Lihat juga Alfian, Muhammadiyah. The Political Behavior of a Muslim Modernist Organisation under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1989). Lihat juga H. A. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Ciputat: Logos, 1999). Lihat juga Marzuki Wahid, et al, (peny.) Geger di Republik NU. Perebutan Wacana, Tafsir Sejarah, Tafsiran Makna (Jakarta: Kompas dan LAKPESDAM-NU, 1999).

[14] Setelah Masyumi dibubarkan pada awal 1960-an, Muhammadiyah secara resmi “mengundurkan diri” dari dunia politk. Dan kendati pun pada 1952 NU memisahkan diri dari Masyumi untuk menjadi partai politik tersendiri, namun sejak 1973, NU kembali menjadi organisasi nonpolitik hingga dewasa ini.

[15] Tentang hal ini, lihat, antara lain, Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises over the Banyan Tree. Study of the Muhammadiyah Movement in a Central javanese Town (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983).

[16] Tentang hal ini, lihat Clifford Geertz, “Javanese Kiyayi: the Changing Role of Cultural Broker”, Comparative Studies in Society and History, No.2,1960.

[17] Bahkan sampai 1952, kaum intelegensia masih tergagap-gagap menggunakan bahasa Indonesia dalam sebuah percakapan “akademis”. Sjahrir, misalnya, menyatakan dalam percakapan itu: “Bahasa Indonesia jang kita gunakan malam ini tiada pula memudahkan tertjiptanja maksud kita untuk membentuk pengertian bersama… Untuk sementara, tampaknja kekeruhan pengertian jang disebabkan oleh penggunaan bahasa kita sendiri di dalam dunia berfikir abstak tadi hanja akan dapat dihilangkan dengan mengulangkan apa jang hendak kita katakan dalam salah satu bahasa Barat, yang telah biasa digunakan untuk itu.” Lihat St. Sjahrir, “Kesulitan-kesulitan dalam Masa Peralihan Sekarang Ditilik dari Sudut Sosiologi”, dalam Simposium tentang Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang (Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hlm. 75. Huruf miring adalah tambahan.

[18] Mungkin juga karena sifat agrarisnya, gerakan-gerakan politik dengan mengatasnamakan Islam tak pernah survive dalam “wilayah peperangan” ini, seperti diperlihatkan pemberontakan-pemberontakan petani dengan menggunakan “ideologi” Islam. Betapa pun tak ringkas dalam rentang waktu, toh akhirnya pemberontakan pedesaan Aljazair akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20—yang dilecut oleh sistem perpajakan kolonial Prancis dan akibat-akibat dislokasi sosial-budaya lainnya—tak kuasa untuk menang. Lihat Peter Von Sievers, “Rural Uprisings as Political Movements in Colonial Algeria, 1851-1914”. Dalam Burke, III dan Lapidus, Islam, Politics…, hlm. 39-59. ini juga terjadi pada kaum pedesaan Sumatera Barat yang memberontak karena alasan sistem pajak yang sama. Lihat Ken Young, Islamic Peasant and the State. The 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatra.

[19] Goenawan Mohammad, “Visnu”, dalam Goenawan Mohammad, Conversation with Difference, terj. Jennifer Lindsay (Jakarta: PY Tempo Inti Media, Tbk., 2002) hlm 30.

[20] Pembahasan komprehensif tentang ini, lihat Eric Toussaint, Your Money or Your Life? Tyrany of Global Finance (London et al: Pluto Press, 1999).

[21] Tentang hal in, lihat antara lain, Susane Strange, The Retreat of the State. The Diffusion of Power in the World of Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999). Lihat juga Philip C. Cerny, (peny.), Finance and World Politics. Markets, Regimes and State in Post-hegemonic Era (Hans GU11 3HR: Edward Elgar Publishing Ltd., 1993).

[22] Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States. State-Society Relations and State Capabalities in the Third World (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1988), hlm. 93-96.



Daftar Isi

International Institute of Islamic Thought Indonesia

International Institute of Islamic Thought Indonesia

Geopolitik Islam vis-à-vis Barat:
Perspektif tentang Fundamentalisme Islam


Ismail Fahmi

Abstract

This article analyzed Islamic fundamentalism as a phenomena that is related to Islamic geopolitic vis-à-vis Western geopolitic. In its beginning, the article explores Islamic fundamentalism in context of global politic by reviewing debate on Huntington’s clash of civilizations, then criticized it. The facts on Islamic geopolitic vis-à-vis Western geopolitic also described. The article closed with concluding remark on phenomena of Islamic fundamentalism as an effort to dedominate Western geopolitic.



Keywords: Islamic geopolitic, Western geopolitic, Islamic fundamentalism, clash of civilization, dedomination of Western geopolitic, global politic







Pendahuluan

Hingga saat ini perbincangan tentang fundamentalisme agama masih saja mengemuka, terutama karena paham ini dapat dengan mudah dikaitkan dengan kekerasan dan tindakan terorisme. Fundamentalisme pun cenderung dimaknai secara peyoratif dengan ciri eksklusif, absolutis, merasa paling benar dalam memahami sesuatu, dan melakukan hal yang terkadang bertentangan dengan arus utama. Tentu kalangan yang digelari paham ini merasa bangga karena mereka memaknainya sebagai sebuah ketaatan yang paling mendekati kesempurnaan ajaran Tuhan dan pemahaman tekstual terhadap kitab suci adalah paling benar.

Namun, fenomena fundamentalisme tidak berhenti hanya pada gejala perdebatan interpretasi antara kaum skripturalis dan modernis-liberal, tetapi juga berimplikasi pada sikap antipati keras yang dilakukan oleh kelompok yang pertama disebut. Dalam Islam, kelompok fundamentalis kerap kali diidentikkan dengan golongan anti-Barat. Fundamentalisme Islam pun dikenal, terutama di kalangan Barat, sebagai teroris yang sewaktu-waktu bertindak mengejutkan. Peristiwa dahsyat 11 September 2001 lalu adalah contohnya. Dalam konteks peristiwa terorisme internasional, fundamentalisme Islam yang semula dipahami sebagai gejala perbedaan interpretasi teologis hendaknya juga dipahami sebagai sebuah upaya dedominasi geopolitik Barat atas Islam.

Dalam tulisan ini saya akan menganalisa fundamentalisme Islam sebagai sebuah fenomena yang berkaitan dengan geopolitik Islam berhadapan dengan Barat. Saya mengawalinya dengan sekilas menyingkap fenomena fundamentalisme Islam dalam konteks politik global dengan mengangkat kembali perdebatan clash of civilizations (benturan peradaban) Huntington, untuk kemudian mengujinya, lalu beranjak mendedah fakta geopolitik Islam vis-à-vis Barat. Akhirnya, tulisan saya tutup dengan catatan mengenai fenomena fundamentalisme Islam sebagai upaya dedominasi geopolitik Barat.



Fundamentalisme Islam, Clash of civilizations dan Politik Global

Istilah fundamentalisme sebenarnya pertama kali muncul pada kalangan penganut Kristen (Protestan) di Amerika Serikat (AS), sekitar tahun 1910-an. Nama fundamentalisme digunakan mereka untuk membedakan kelompoknya dengan kaum Protestan yang liberal yang menurut mereka telah merusak keimanan Kristen. Kelompok ini ingin menegakkan kembali dasar-dasar (fundamental) tradisi Kristen, suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan panafsiran harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu. Teori evolusi Darwin adalah klimaks dari reaksi kelompok ini.

Secara faktual, fundamentalisme adalah kenyataan global dan muncul pada semua keyakinan sebagai respon atas masalah-masalah yang dimunculkan modernitas. Tak terkecuali dalam Islam, paham ini pun berkecambah luas di berbagai agama: Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh, dan bahkan Konfusianisme. Gerakan fundamentalis memang tidak muncul begitu saja sebagai reaksi spontan terhadap gerakan modernisasi yang dinilai telah keluar terlalu jauh, tetapi lahir seiring dengan ditempuhnya cara ekstrim ketika jalan moderat dianggap tidak membantu.[1]

Fundamentalisme Islam dengan demikian hanya salah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik internasional dengan masing-masing latar belakang lebih pada ideologi politis. Dalam pandangan Bassam Tibi, fundamentalisme merupakan gejala ideologis dari ide clash of civilizations (benturan peradaban). Gejala ini bukan disebabkan krisis yang melanda dunia saat ini, tetapi lebih-lebih muncul baik dari ekspresi krisis tersebut maupun respon atasnya.[2]

Dalam konteks politik global, fundamentalisme Islam dapat dihubungkan baik dengan realitas politik internasional maupun pemikiran di balik realitas itu. Sebut saja ide tentang clash of civilizations Huntington yang cukup mempengaruhi perilaku politik global pasca-Perang Dingin. Meski tidak valid secara faktual, ide benturan peradaban tersebut cukup kuat bergema sekaligus diafirmasi oleh banyak kalangan. Tentu pembahasan tentang clash of civilizations sudah lama usang. Salah satu alasannya ialah karena sebagai sebuah interpretasi atas politik global ia tidak lagi relevan. Namun dengan pretensi sebagai sebuah review saya hendak mengulang mendedahnya berikut ini.

Di pertengahan 1993 Samuel P. Huntington, mahaguru studi-studi strategis Universitas Harvard AS, menyatakan bahwa idenya tentang clash of civilizations menyediakan sebuah model yang valid untuk berpikir mengenai masa depan. “The Clash of civilizations?” semula ditulis Huntington dalam jurnal Foreign Affairs edisi musim panas 1993. Tulisannya itu banyak mendapat kritik dan olok-olok. Namun, biasanya dibalik kritik dan olok-olok atas suatu gagasan, implisit gagasan tersebut diakui mengandung pesona. Terbukti ketika tesanya itu ia bukukan berjudul The Clash of civilizations and the Remaking of World Order (1996), tak kurang dari seorang Henry Kissinger dan Francis Fukuyama memujinya.[3]

Harus diakui bahwa buku Huntington itu banyak mendapat apresiasi dari berbagai kalangan di dunia. Eksplorasinya yang sangat luas dilengkapi data yang cukup memadai membawanya pada rasiosinasi (penyimpulan) tentang dominasi benturan peradaban dalam kancah politik global, terutama antara Barat dan Islam. Bagi Huntington, sumber utama konflik dunia baru bukan lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara tetap akan menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka.

Setidaknya ada lima alasan mengapa Huntington jatuh pada kesimpulan tersebut. Pertama, peradaban baginya tidak hanya riil, tetapi juga mendasar; kedua, kenyataan semakin menyempitnya dunia memungkinkan interaksi manusia dari peradaban yang berbeda semakin meningkat; ketiga, dominasi peran Barat akan memunculkan reaksi dedominasi dari non-Barat; keempat, perbedaan kebudayaan kurang menyatukan ketimbang plolitik-ekonomi; kelima, kesadaran peradaban bukan raison de‘tre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi

Dipengaruhi sejarawan Perancis Fernand Braudel, Huntington memandang peradaban sebagai the broadest cultural entity. Maksudnya kebudayaan merupakan sebuah representasi dari wilayah yang lebih sempit dan karena itu bervariasi menurut wilayah, misalnya Jerman, Inggris, dan Perancis adalah kebudayaan, sedangkan wilayah kesatuannya yang disebut Eropa adalah peradaban. Demikian pula Arab adalah kebudayaan, sedangkan Islam adalah peradaban; Taiwan adalah kebudayaan, sedang Cina adalah peradaban, dan seterusnya.[4]

Dalam era pascaperang dingin, demikian Huntington, paling tidak ada delapan peradaban dunia yang saling berhadap-hadapan untuk membangun kekuasaan: Barat, Islam, Jepang, Ortodoks (Rusia), Hindu, Amerika Latin, Afrika, dan Cina (Konfusianisme), di mana Islam dan Konfusianisme merupakan dua peradaban yang sangat menonjol untuk mengatasi peradaban Barat. (lihat gambar di halaman akhir). Politik bagi Huntington bukan hanya berdasarkan kepentingan, melainkan juga penampakkan identitas (kebudayaan): etnik, agama, bahasa, golongan.[5]

Menarik untuk menyimak komentar para pengritik tesis Huntington ini dalam Foreign Affairs edisi September/Oktober 1993 berikutnya.[6] Diantaranya adalah kritik atas pendekatan macrocosmic Huntington yang memunculkan peradaban sebagai determinan hubungan internasional dan mengabaikan peran negara-bangsa (Albert L Weeks dan Fouad Ajami). Ada yang menunjuk proses kebangkrutan peradaban Barat dan memunculkan keunggulan tertentu non-Barat (Kishore Mahbubani, Gerard Piel), tapi ada pula yang optimis dengan superioritas Barat (Robert L. Bartley). Sementara itu, para pengritik lain menawarkan analisis yang membuka perspektif positif dalam pertemuan antarperbedaan dan menyarankan agar mengambil yang terbaik dari masing-masing peradaban (Liu Binyan).

Tak kalah menarik pula respon yang terjadi di Indonesia. Di sela-sela riuhnya publik Indonesia menyikapi tesis Huntington ini, Goenawan Mohammad dalam suatu dialog kebudayaan di Jakarta,[7] menyatakan bahwa Postmodernisme mengajarkan kita untuk menghormati heterogenitas, perbedaan, kelainan (otherness), dan sikap ragu terhadap konsensus. Huntington, katanya, tidak memeriksa secara lebih teliti apa yang dimaksudkannya dengan “Barat” dan “Islam”. Dalam kacamata Postmodernisme, kedua istilah tersebut masing-masing mengandung keragaman dan berbagai perbedaan internal yang nyata.

Dialog kebudayaan itupun berkesimpulan bahwa perbenturan atau konflik yang akan dihadapi dunia di masa datang tetap bertumpu pada masalah ekonomi. Jika ada pandangan yang meramalkan kecenderungan konflik masa depan itu sebagai konflik peradaban, sesungguhnya itu hanyalah kesan luarnya. Sebab persoalan mendasar yang menjadi faktor utama penyebab konflik tersebut adalah soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi.

Gonjang-ganjing tesis Huntington itu di Indonesia sebelumnya juga sempat dikomentari sinis dalam sebuah konferensi Forum Indonesia di Bali, yaitu dianggap sebagai motif kekuatan di belakang kebijakan AS yang menjadi konsensus pandangan para intelektual Barat. Hal ini memaksa Dubes AS saat itu, Robert L. Barry angkat bicara. Dengan diplomatis ia menyatakan bahwa esai Huntington harus dibaca sebagai suatu peringatan, bukan ramalan.[8] Huntington kala itu memang fenomenal.



Konteks dahulu, konteks sekarang: Menguji Huntington

New York—Washington, 11 September 2001. Kita tahu Selasa yang cerah itu tiba-tiba dikabuti oleh debu runtuhnya dua menara kembar WTC dan serangan ke Pentagon. Osama bin Laden dan jaringannya menjadi tersangka utama dan sasaran balas dendam. Tragedi itu tiba-tiba mengingatkan orang kembali kepada sebuah nama yang belum begitu dilupakan: Huntington. Perbincangan publik dunia, terutama di AS dan Eropa, kembali pada ide clash of civilizations delapan tahun silam. Hal ini menambah satu bukti lagi bahwa gagasan Huntington itu mempesona banyak orang. Bahkan tak sedikit yang berpikir bahwa benturan Barat-Islam itu sungguh telah tiba. Sebagian besar kalangan dari dunia Islam pun hampir segera membenarkan teori Huntington itu.

William Pfaff, kolumnis ternama untuk International Herald Tribune dan Los Angeles Times Syndicate, adalah orang yang kesekian yang kembali menganggap klaim Huntington tentang benturan peradaban sebagai sebuah ‘penyederhanaan gambaran realitas’.[9] Hipotesa clash of civilizaions Huntington muncul setelah gugurnya beberapa paradigma politik internasional. Teori sebelumnya yang muncul berdasarkan peristiwa Perang Dingin, antara dua (ideologi) negara adikuasa Amerika Serikat dan Uni Soviet, diduga akan menjadi model pendekatan yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik-ekonomi global. Kelak teori ini ditinggalkan sejak Uni Soviet sama sekali tak lagi menjadi adikuasa dan runtuh yang akibat kesalahan internal mereka.

Tak lama, model pendekatan baru pun lahir. Kali ini berdasar pada paradigma Komunisme Asia di bawah komando Cina. Sejak dekade 1950-an hingga berakhirnya perang Vietnam, paradigma ini menganggap Cina sebagai negara yang memiliki kemampuan mengorganisir revolusi ‘dunia pedesaan’ untuk mengalahkan AS yang merupakan ibukota ‘dunia urban’. Revolusi itu diramalkan akan terjadi dari satu negara ke negara lain dengan cara kerja efek domino. Namun paradigma ini pun akhirnya terbukti keliru, kendati AS berperang berdasarkan model ini. Komunisme Vietnam memang mengalahkan AS, tetapi tanpa efek domino ke negara-negara lain.

Munculnya Huntington dengan mengusung model clash of civilizations akhirnya mengisi ruang kosong kebuntuan paradigma politik global. Modelnya merupakan kesimpulan yang ditarik dari fenomena revolusi kaum fundamentalis Islam Iran yang konon berwatak keras terhadap AS.

Peristiwa 11 September memang dapat saja diyakini menjadi epilog dari apa yang disebut benturan Barat-Islam. Tesis benturan peradaban Huntington apa boleh buat telah diyakini sebagian orang, juga rupanya kerap dipraktikkan terutama oleh Barat, disadari atau tidak. Sebab, banyak kalangan Islam melihat serangan dahsyat terhadap AS itu sebagai balasan yang dibenarkan karena bahaya yang mereka pikirkan yang selama ini dilakukan AS dan Barat terhadap Islam. Tak kurang dari seorang Mahatir Mohammad pun menyatakan bahwa upaya yang mesti segera dilakukan adalah identifikasi sebab musabab peristiwa itu sebagai bahan introspeksi Barat (AS dan Eropa).

Tak dapat disangkal bahwa kalangan Islam memang meminta AS untuk bertanggung jawab atas serangan basis-basis militernya ke dalam negara-negara mereka, atas apa yang mereka lihat sebagai opresi atas masyarakat Palestina, dan atas sanksi yang telah menghukum rakyat Irak sejak usainya kecamuk Perang Teluk. Banyak juga mereka yang menyalahkan ketidaklogisan Barat atas keterbelakangan masyarakat muslim sejak berkembangnya ilmu/teknologi dan paham demokrasi liberal. Padahal peradaban Barat sangat berhutang kepada dunia Arab-Islam, dan peradaban Islam sangat berhutang kepada tradisi Hellenisme. Dan dalam kesadaran ahistoris seperti ini lalu berlangsung imperialisme kultural dan kolonialisme ekonomi oleh Barat terhadap non-Barat.

Maka, cukup berbahaya jika pemahaman benturan peradaban terus diyakini baik oleh kalangan Islam maupun Barat. Ide semacam ini implisit menyiratkan bahwa Barat dan Islam, juga peradaban-peradaban lain, haruslah selalu berseteru sebab itulah takdir peradaban. Huntington memang tidak sepenuhnya keliru ketika ia mengatakan bahwa masyarakat kini mengidentifikasikan diri mereka pada keleluhuran, agama, bahasa, sejarah, nilai; masyarakat lebih mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok-kelompok budaya (etnisitas), dan pada level yang lebih luas: peradaban. Akan tetapi, tampaknya ia berlebihan jika kemudian berkesimpulan bahwa “kita tahu siapa diri kita hanya ketika kita tahu bukan diri kita, dan serigkali hanya ketika kita tahu siapa lawan kita.[10] Suatu pandangan Hobbesian yang meniscayakan perang.

Lagi pula, anggapan Huntington bahwa kecenderungan masyarakat dewasa ini melebur ke dalam entitas kebudayaannya yang lebih luas (peradaban), sesungguhnya terfalsifikasi oleh kenyataan bahwa kecenderungan masyarakat dunia malah menciutkan diri pada entitas etnik dan kelompok yang lebih kecil. Pecahnya Uni Soviet yang masyarakatnya memiliki akar budaya yang relatif sama adalah salah satu contohnya. Dan tesis John Naisbitt dalam Global Paradox (1994)[11] barangkali meneguhkan terfalsifikasinya anggapan Huntington ini. Naisbitt menyatakan bahwa ada paradoks saat dunia semakin mengglobal antara hal universal versus tribal. Ia bilang: “semakin menjadi universal diri kita, semakin tribal kita bertindak.”[12] Ia mencontohkan ketakutan bangsa kita beberapa tahun yang lalu akan ‘kolonisasi’ bahasa Inggris atas bahasa lokal dan Indonesia. Sikap ini hingga mengakibatkan pemerintah mengeluarkan kebijakan pengindonesiaan bahasa Inggris. Hal yang sama terjadi di Quebec, Rusia, Ukraina, juga Lithuania.

Sekali lagi, istilah Barat-Islam masing-masing mengandung keragaman dan berbagai perbedaan internal yang nyata. Jadi, apa yang dilakukan Osama bin Laden beserta jaringannya, juga gerakan Taliban, fundamentalisme Pakistan, dan teroris Palestina bukanlah representasi dari peradaban Islam. Sikap mereka hanyalah fenomena individual di dalam masyarakat Islam. Kaum fundamentalis tidaklah mewakili ortodoksi arus utama dalam Islam. Mereka dikemudi oleh suatu versi fanatis dan ideologis agama yang menyerupai nasionalisme. Mereka sendiri biasanya berpendidikan Barat dan tak banyak tahu tentang isi dan kebudayaan Islam. Tidak ada terorisme (dalam anjuran ajaran) Islam. Yang ada hanyalah kenyataan muslim yang menjadi marah, dan teroris yang kebetulan muslim. Itulah orang-orang seperti Osama bin Laden.

Mengatakan konflik AS-Afganistan sebagai perang antarperadaban (Barat-Islam) adalah sesederhana apa yang dipikirkan Huntington tentang clash of civilizations. Peradaban Islam tidaklah sesederhana sosok Osama bin Laden dan jaringannya. Di luar seorang Osama, terdapat lebih dari 100 juta penduduk muslim di kawasan Arab, dan 140 juta lainnya di Pakistan dan Afganistan. Komunitas ini sekarang tengah terlibat konflik dengan Barat. Juga terdapat 174 juta penduduk muslim di Indonesia, 100 juta di India, 103 juta di Bangladesh dan 160 juta muslim di Afrika Sub-Sahara, ditambah 6 juta di AS. Tak sedikit pula kaum muslim yang hidup di Turki, Eropa Barat, Afrika Utara, Kaukasus dan Asia Tengah.[13]

Masyarakat ini mungkin merasakan simpati atas saudaranya yang muslim, tetapi mereka bukanlah bagian dari jihad Osama bin Laden. Solidaritas Islam tentu ada, tetapi lebih didasari kemanusiaan yang mengharapkan tidak ada lagi korban tak berdosa dan tidak ada lagi perang. Hal yang sangat berbahaya adalah jika kaum muslim semakin menjadi sadar dan yakin bahwa Barat kini tengah dengan sungguh-sungguh memerangi Islam. Kesadaran inilah yang tengah timbul di berbagai masyarakat Islam dunia, termasuk di Indonesia. Banyak kalangan menentang AS saat negara adidaya itu menyerang Afganistan dengan kesadaran bahwa AS tengah mengajak ‘clash’ dengan Islam baik sebagai agama maupun peradaban, seperti dimaklumkan Huntington. Belakangan ini Presiden Bush berencana menggempur Irak; sebuah situasi yang kritis bagi perdamaian.

Presiden Bush dan Colin Powell memang sering mengatakan bahwa AS dan Eropa tidaklah sedang memerangi Islam baik sebagai agama maupun peradaban, melainkan tengah berperang dengan teroris individual dan organisasi-organisasi teroris. Bagi AS, isu konflik dengan Afganistan beberapa waktu lalu dan dengan Irak yang memanas belakangan ini adalah bersifat politis, bukan kebudayaan maupun religius. Banyak seruan agar tidak ada lagi perang. Namun, rupanya AS dan Inggris yang terus berdalih memerangi terorisme akhirnya melancarkan serangan ke Afganistan, tempat perlindungan sang tersangka Osama. Patut disayangkan baik AS maupun Afganistan (Taliban) tak memperhitungkan banyaknya korban sipil tak berdosa yang berjatuhan akibat krisis ini.



Geopolitik Islam vis-à-vis Barat

Hanya selang sekitar dua bulan sebelum tragedi 11 September 2001 lalu, majalah mingguan terkemuka Inggris, The Economist, mengundang Prof. Jeffrey Sachs, Direktur the Centre for International Development Universitas Harvard AS. Dalam pidatonya Prof. Sachs dengan keras berkata: “Meskipun kemakmuran Amerika Serikat (AS) bergantung pada jaringan perdagangan, keuangan, dan teknologi dunia, namun saat ini AS memperlakukan negeri-negeri lain di dunia ini seolah-olah mereka tidak ada.” Padahal, lanjutnya, apa yang baik bagi kaum miskin (di berbagai negara) adalah baik pula bagi AS.[14]
Tragedi 11 September yang mengenaskan itu seakan membenarkan peringatan Prof. Sachs di atas. Hal ini bukan berarti bahwa dengan demikian terorisme identik dengan kemiskinan dan serta merta menjadi satu-satunya picu bagi laku terorisme. Tetapi bukankah wajar jika AS, juga Eropa, hendaknya melakukan introspeksi mengapa hingga kini jaringan terorisme internasional sebagian besar terkait dengan dunia Islam.

Menanggapi terorisme Islam ala Osama bin Laden dan jaringan Tanzim Al-Qaedanya, sastrawan terkemuka Salman Rushdie menyatakan bahwa masalah dan penyakit Islam sekarang ini berasal dari dalam Islam sendiri. Rushdie menyoal kemodernan yang kerap ditampik masyarakat Islam, menurutnya menjadi penyebab kemunduran dan ketertinggalan mereka.[15]

Anggapan Salman Rusdhie di atas tentu beralasan, tetapi betulkah hanya kebudayaan yang menyeret kembali masyarakat Islam pada situasi kemandegan abad ke-7. Kiranya jelas, para teroris dan kaum fundamentalis Islam bukanlah representasi dari peradaban Islam. Sikap mereka hanyalah fenomena individual yang dikemudi oleh suatu versi fanatis dan ideologis agama yang menyerupai nasionalisme. Mereka sendiri biasanya berpendidikan Barat dan tak banyak tahu tentang isi dan kebudayaan Islam. Tentu tidak ada anjuran terorisme dan kekerasan dalam ajaran Islam. Tetapi mengapa ada orang-orang semacam bin Laden?

Ketika Huntington mengusung clash of civilizations hampir satu dasawarsa silam yang secara tegas memprediksi Barat dan Islam sebagai dua peradaban yang kerapkali berbenturan, sesungguhnya ia semakin mempertegas ranah geopolitik dan sikap hegemonik Barat atas Islam yang dilakukannya sejak bertahun-tahun silam. Kemunduran dan kesulitan-kesulitan yang melanda masyarakat Islam senyatanya lebih banyak berkaitan dengan kekalahan geopolitik dunia Islam ketimbang dengan perbedaan kebudayaannya dengan Barat. Peta geopolitik seharusnya tidak dibaca sebagai sebuah hikayat moralitas. Maksudnya, harus dibaca sebagai persoalan ekonomi-politik.

Klaim Salman Rushdie yang mengidentifikasi kemunduran masyarakat Islam sebagai kesalahan internal mereka, memang menjadi otokritik yang berguna bagi Islam. Akan tetapi jika kebudayaan dianggap sangat berperan dalam kemunduran dunia Islam, ini tentu berlebihan. Begitu juga pandangan bahwa kebangkitan masyarakat Kristen adalah bukti superioritas teologi dan kebudayaan mereka. Pembagian Kristen-Islam adalah juga merupakan pembagian ekologis antara zona bertemperatur sedang Kristen Eropa dan zona bertemperatur gersang Islam Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tengah.

Prof. Sachs kembali berkomentar ketika clash of civilizations Huntington, yang berbahaya karena Hobbesian itu, lagi-lagi menjadi momok pascatragedi 11 September: “...AS dan Eropa seharusnya memperlakukan dunia Islam tak sekadar demi minyak di Teluk Persia dan Asia Tengah, dan demi kepentingan ekonomi belaka.”[16]

Saat Islam berada dalam kemajuan pada abad ke-8, populasi Islam dan Kristen Eropa sesungguhnya relatif seimbang, masing-masing kurang lebih memiliki 30 juta penduduk. Bahkan kota-kota di negara Islam saat itu menjadi pusat perekonomian dunia. Waktu itu ada sekitar tigabelas kota Islam dengan lebih dari 50.000 penduduknya, termasuk Iskandaria, Bagdad, Kairo dan Mekah. Sedangkan benua Eropa yang relatif maju hanyalah di wilayah Barat, dan itupun mereka cuma punya kota Roma.

Dalam perjalanan waktu berabad, keseimbangan demografis tersebut berbalik arah memihak Eropa. Eropa tidak hanya dikelompokkan kembali secara politik di bawah suatu struktur feodal yang lebih stabil, tetapi juga mengembangkan teknologi seperti alat pembajakan modern bagi tekstur tanah yang keras hutan-hutan kawasan Utara benua itu. Populasinya tumbuh cepat setelah abad ke-10, hingga berpenduduk sekitar 100 juta pada awal abad ke-17.

Pada masyarakat Islam yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka dibatasi dan dikelilingi oleh kegersangan dan keterbatasan sumber daya alam, seperti hutan untuk kebutuhan akan kayu. Populasi Islam tidak bergeser secara berarti hingga berabad-abad, sampai mengalami kemajuan tajam pada akhir abad ke-19 dengan kemajuan revolusi industri dan teknologi yang dijalankannya. Hanya zona sedang wilayah Turki yang melakukan hal lebih baik secara demografis dari zona gersang kawasan gurun Arabia.

Awal mula kesulitan yang melilit masyarakat Islam untuk berkembang dimulai saat tidak dilibatkannya Islam, khususnya oleh pelayar Portugis Vasco da Gama, pada akhir abad le-15 dalam membangun rute perjalanan laut Afrika hingga Asia. Waktu itu Gama berupaya menyatukan Eropa dan Asia melalui perdagangan lewat jalur samudera yang seluruhnya mengambil jalan pintas rute-rute Jalur Sutera dan Laut Merah Asia Tengah serta Timur Tengah.

Kesulitan semakin mencekik setelah usaha kontrol yang dilakukan Islam terhadap perdagangan samudera Hindia akhirnya jatuh juga pada kekuasaan angkatan laut Eropa yang tangguh. Dan upaya perbaikan perdagangan pada saat yang sama yang dilakukan Islam atas Terusan Suez melalui Laut Merah pada 1869 sudah sangat terlambat. Eropa saat itu telah menang dan akan terus mengontrol Terusan Suez dan perdagangan-perdagangan jalur laut serupa melalui pendudukan militer dan kontrol finansial.

Pada akhir abad ke-19, saat keruntuhan akhir Kekaisaran Ottoman di Turki, Eropa memiliki sumber daya alam yang relatif melimpah: batubara, gas-air, kayu, dan biji besi. Sedangkan negara-negara Islam Arabia hanya memiliki sedikit dari stok kebutuhan abad ke-19 tersebut untuk menyokong industrialisasi. Sementara penemuan ladang-ladang minyak di negara-negara Islam baru dieksplorasi setelah Eropa telah menggenggam kontrol kolonial. Tak ayal jika pada abad ke-20 negara-negara Islam telah kehilangan kontrol atas rute-rute perdagangan, komoditas-komoditas primer seperti minyak, dan bahkan kedaulatan mereka sendiri di banyak wilayah.

Dengan standar yang obyektif, hingga detik ini sesungguhnya kota-kota Islam sekarang ini tidaklah termasuk dalam bagian dari jaringan global perdagangan, pemikiran, teknologi, dan kebudayaan. Sudah saatnya Amman, Damaskus, Tunisia, Kairo, Teheran, juga negara semacam Afganistan perlu dihubungkan dengan London, Paris, Boston—juga dengan Tel Aviv dan lainnya—dalam pertukaran intelektual, konferensi akademik, kegiatan olahraga, investasi luar negeri, dan perdagangan. Juga, sejak sekarang kebijakan perdagangan AS dan Eropa hendaknya mengakomodasi tuntutan perubahan ini. Turki harus tidak lagi dipersulit untuk menjadi anggota Uni Eropa, dan perluasan susunan perdagangan mesti tidak lagi mendiskriminasi Timur Tengah dan mengeksklusi negara-negara Islam lainnya.

Ini adalah upaya menopang jaringan kerja masyarakat sipil yang pada akhirnya akan menutup rapat era peperangan, ketakpercayaan, dan dominasi Barat terhadap Islam. Sehingga jalan untuk menekan suburnya jaringan terorisme internasional tidak melulu dengan intensitas yang keras seperti terjadi sekarang ini. Dan tentu agar segala macam bentuk terorisme tidak lagi memiliki alasan untuk berkecambah.



Dedominasi Geopolitik Barat: Catatan Penutup

Harus diakui bahwa setiap agama selalu berhadapan dengan kemungkinan menjadi ideologi, juga sebaliknya, setiap ideologi yang ingin memantapkan posisinya cenderung menempuh jalan untuk memberi warna keagamaan kepada dirinya. Ideologisasi agama selalu diimbangi dengan religiosasi ideologi. Kalimat di atas hendak menunjukkan bagaimana agama, termasuk Islam, yang sesungguhnya menyeru pada perdamaian, kasih sayang dan kebaikan dapat digunakan oleh siapapun sebagai alat untuk mencapai kepentingan sempit tertentu. Gejala fundamentalisme Islam adalah contoh bagaimana agama dipahami secara ‘ideologis’. Interpretasi ajaran yang dianggap paling sahih adalah sumber-sumber awal (al-ushuliyyah). Laiknya ideologi, agama dikembangkan dari sebuah fondasi yang presis, lengkap, dan tak dapat diubah. Seperti tulisan-tulisan Karl Marx bagi fondasi Marxisme, Quran dan Sunnah merupakan fondasi Islam.[17]

Namun demikian, fenomena fundamentalisme Islam yang biasanya dipahami sebagai gejala perbedaan interpretasi teologis, juga hendaknya dipahami sebagai sebuah upaya dedominasi geopolitik Barat atas Islam. Jadi, persoalan fundamentalisme harus juga diletakkan pada kepentingan ekonomi-politk. Karenanya, klaim atas kelompok fundementalisme Islam sebagai representasi dari arus utama Islam adalah berlebihan.

Mengenai ide benturan peradaban, sebetulnya Huntington sendiri dalam pengantar bukunya dengan rendah hati tidak memaksudkan karyanya itu sebagai sebuah kerja ilmu sosial, melainkan sebagai interpretasi atas perkembangan politik global pasca-Perang Dingin. Ia pun menyadari bahwa tidak ada satupun paradigma yang valid secara kekal. Validitas pendekatan peradaban barangkali membantu memahami politik global pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, tetapi tidaklah menjamin dapat digunakan pada era selanjutnya yang berubah.[18]

Huntington pun sudah ‘merevisi’ pandangannya itu, sebab fakta yang sering terjadi adalah konflik di dalam peradaban masing-masing, baik di Barat maupun Islam. Akan tetapi, fakta konflik peradaban secara internal ini pun jangan pernah dianggap bahwa konflik adalah takdir kebudayaan. Sebab anggapan ini identik dengan apa yang pernah ada pada abad yang lalu, ketika perang antar-ras diyakini sebagai fenomena dunia di masa depan. Ramalan yang meyakinkan Hitler itu menorehkan sejarah kelam bagi Eropa. Kita tentu tidak mau menyaksikan untuk kesekian kalinya Perang Dunia terulang.[19]

Sudah saatnya kita segera harus melupakan clash of civilizations Huntington, sambil terus mengupayakan keadilan, pembangunan dan perdamaian. Biarkanlah clash of civilizations menjadi sampah sejarah, sebagaimana maklumat William Pfaff. Jika mengikuti saran Bassam Tibi,[20] upaya demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia yang fair merupakan alternatif mencegah fundamentalisme agama. Kedua isu tersebut akan menjadi substansi moralitas lintas budaya tingkat global yang memungkinkan masyarakat dari berbagai peradaban yang berbeda hidup bersama secara damai[]






Lampiran:

Gambar: Politik global peradaban[21]





Jepang Ortodoks (Rusia)






Afrika Islam













Barat












Amerika Latin Hindu Cina





Keterangan:




Banyak konflik





Sedikit konflik







Catatan:


[1] Lih. Karen Armstrong, Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002, hlm.193.

[2] Lih. Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998, hlm.2.

[3] Sampul muka buku tersebut dibubuhi sanjungan Kissinger: ‘...one of the most important books to have emerged since the end of the Cold War. Sedangkan Fukuyama pada bagian belakang sampul, di antara pemuji-pemuji lain, bilang: ‘The book is dazzling in its scope and grasp of the intricacies of contemporary global politics.’ Lihat Samuel P.Huntington, The Clash of civilizations and the Remaking of World Order, London: Simon & Schulster, 1996.

[4] Lihat Samuel P. Huntington, Ibid., h.40-3.

[5] Ibid., h.21.

[6] Lihat M. Fajrul Falaakh, “Harmoni Antarperadaban: Pertemuan Inklusif”, Kompas, 15 November 1993, h.4.

[7] Dilaog bertopik "Masyarakat Pascamodern dan Benturan Antarperadaban" itu diadakan jurnal ilmu dan kebudayaan Ulumul Qur'an, tanggal 21 Oktober 1993. Goenawan Mohamad bertindak sebagai pembicara utama, dengan pembahas Arief Budiman dan Dawam Rahardjo, dipandu Syafi'i Anwar. Lihat Kompas, 24 Oktober 1993, h.16.

[8] Lihat artikelnya, “Benturan Peradaban atau Persatuan dalam Keanekaragaman?”, Kompas, 4 Oktober 1993, h.4.

[9] Lihat artikelnya (“The clash of civilizations Is for History’s Dustbin”) di International Herald Tribune, 18 Oktober 2001, h.9.

[10] Samuel P. Huntington, Op.Cit., h.21. (we know who we are only when we know who we are not and often when we know whom we are against).

[11] Lihat John Naisbitt, Global Paradox, New York: Avon, 1994, h.24-7.

[12] “The more universal we become, the more tribal we act...”, Ibid.

[13] Lihat William Pfaff, “The clash of civilizations Is for History’s Dustbin”, International Herald Tribune, 18 Oktober 2001, h.9.

[14] Lih. The Economist, 14 Juli 2001.

[15] International Herald Tribune, 3-4 November 2001.

[16] Financial Times, 29 Oktober 2001.

[17] Lih. Murad Hofmann, Islam: The Alternative (edisi perluasan kedua) terj. Christiane Banerji dan Murad Hofmann, United Kingdom: Garnet Publishing, 1993, h.55.

[18] Lihat Samuel P. Huntington, Op.Cit., h.13-4.

[19] Ternyata perang intern dalam suatu peradaban—Barat, misalnya—akibat konflik kepentingan lebih banyak terjadi ketimbang antarperadaban. Perang Dunia I dan II, contohnya.

[20] Lih. bukunya The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998.

[21] Gambar diadaptasi dari Samuel P. Huntington, Op.Cit., h.245.







Bibliografi



Armstrong, Karen, Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002

Barry, Robert L., “Benturan Peradaban atau Persatuan dalam Keanekaragaman?”, Kompas, 4 Oktober 1993

Falaakh, M. Fajrul, “Harmoni Antarperadaban: Pertemuan Inklusif”, Kompas, 15 November 1993

Hofmann, Murad, Islam: The Alternative (edisi perluasan kedua) terj. Christiane Banerji dan Murad Hofmann, United Kingdom: Garnet Publishing, 1993

Huntington, Samuel P., The Clash of civilizations and the Remaking of World Order, London: Simon & Schulster, 1996.

Naisbitt, John, Global Paradox, New York: Avon, 1994

Pfaff, William, “The clash of civilizations Is for History’s Dustbin”, International Herald Tribune, 18 Oktober 2001

Tibi, Bassam, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998

Financial Times, 29 Oktober 2001.

International Herald Tribune, 3-4 November 2001.

Kompas, 24 Oktober 1993

The Economist, 14 Juli 2001.



Ismail Fahmi, alumni Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Banten, tengah menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.



© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia



Kembali ke Daftar Isi

Yahudi, Diktator Media Massa Dunia

Yahudi, Diktator Media Massa Dunia
Posted in Politik, Tsaqofah by oleh on the May 6th, 2007


Cita-cita Yahudi untuk menggenggam dunia nampaknya hampir terkabul. Media massa, sebagai sarana efektif dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, berhasil dimiliki Yahudi. Itu sebabnya opini dunia selalu menguntungkan mereka dan merugikan umat Muslim. Apa yang bisa dilakukan kaum muslimin?
Jangan kaget kalo apa yang kamu baca, kamu dengar, dan kamu lihat nyaris semuanya dikendalikan kaum Yahudi. Nggak percaya? Di jalur media massa ini, Yahudi berhasil menyebarkan informasi yang cenderung menguntungkan mereka, baik dari segi bisnis maupun politis. Koran, majalah, tabloid, radio, bahkan televisi dan perusahaan film di Amerika di bawah kendali Yahudi. Jaringan mereka pun tersebar luas di seluruh dunia. Mantan wartawan Jawa Pos biro Washington DC, Djoko Susilo yang pernah tinggal di Amerika selama 4 tahun mengaku bila hampir semua media massa yang berpengaruh di Amerika semuanya dipegang orang-orang Yahudi. Walah?
Kartel Opini
Tercatat beberapa media yang berada di bawah kontrol Yahudi; The New York Times (terbit sejak 1941), The Wall Street Journal, dan The Washington Post. The Times (Inggris), The Daily Express, The News Chronicle, The Daily Mail, The Observer, The Mirror, koran The Sun dan The Times yang dimiliki Rupert Murdoch, mantan warga Australia yang pernah mendapat hadiah Bintang David, sebuah penghargaan tertinggi yang disampaikan oleh warga Yahudi-Israel. Selain itu ada juga Majalah Time, Newsweek, U.S. News & World Report. Di bawah payung perusahaan Time Warner Communication yang dipimpin seorang Yahudi bernama Gerald Levin, Majalah mingguan Time, mencapai sirkulasi hampir 4,1 juta. Newsweek, di bawah orang Yahudi bernama Katherine Meyer Graham telah memiliki sirkulasi mencapai hampir 3,2 juta eksemplar.
Fu`ad bin Sayyid Abdurrahman ar-Rifa’i dalam bukunya Yahudi dalam Informasi dan Organisasi, menunjukkan bagaimana kaum Yahudi memperkuat pengaruhnya lewat dominasi kantor berita, media massa, perfilman, keuangan dan lembaga dunia. Kantor berita terbesar dunia, Reuters, dibangun keturunan Yahudi, Julius Reuters. Kantor berita besar lainnya, Associated Press, International News Service dan United Press International, juga dimiliki orang Yahudi. Bahkan, surat kabar yang tidak terlalu besar pun, seperti The Sunday Times, The Chicago Sun Times dan The City Magazine, tidak mereka lepaskan.
Selain media cetak, beberapa konglomerat Yahudi berhasil merambah dunia broadcasting. Di jalur ini ada American Broadcasting Companies (ABC), Columbia Broadcasting System (CBS), National Broadcasting Company (NBC), dan Cable News Network (CNN). Dunia hiburan yang masih ada hubungan dengan media massa juga nggak dilepaskan dari kontrol Yahudi. Jajaran pengusaha top bisnis hiburan di Hollywood tercatat sebagai bagian dari jaringan media Yahudi. Sebut saja Perusahaan film Fox Company milik William Fox, Golden Company (Samuel Golden), Metro Company (Lewis Mayer), Warner & Bross Company (Harny Warner), serta Paramount Company milik Hod Dixon, merupakan perusahaan film yang punya pengaruh besar di bidangnya.
Bukan hanya itu, di AS hampir 90% pekerja film mulai dari sutradara, produser, editor, artis, dan krunya adalah orang-orang Yahudi. Luasnya keterlibatan orang-orang Yahudi di industri ini membuktikan bahwa mereka sangat mendominasi perfilman Amerika dan bahkan dunia.
Konglomerat hiburan terbesar saat ini seperti Walt Disney Company, dipimpin oleh seorang Yahudi bernama Michael Eisner (CEO), Disney memiliki beberapa anak perusahaan dibidang stasiun televisi. Misalnya Walt Disney Television, Touchstone Television, Buena Vista Television. Untuk film, Walt Disney memiliki Walt Disney Picture Group yang dikepalai oleh Joe Roth, seorang keturunan Yahudi. Termasuk juga Touchstone Pictures, Hollywood Pictures, dan Caravan Pictures. Disney juga memiliki Miramax Films. Wah, wah, wah.
Sobat muda, jaringan mereka cukup kuat juga. Di bisnis penerbitan buku, tercatat ada tiga penerbit kaliber raksasa dan cukup berpengaruh; Random House, Simon & Schuster, dan Time Inc. Book Co. Semuanya dimiliki pemodal Yahudi. Pimpinan eksekutif Simon & Schuster, Richard Snyder dan ketuanya Jeremy Kaplan, keduanya orang Yahudi. Malah di luar penerbit yang tiga di atas, Western Publishing tercatat ada pada peringkat paling atas, yang menerbitkan buku-buku untuk anak-anak, dengan pangsa pasar yang dikuasainya 50 persen dari pangsa pasar buku untuk anak-anak yang ada di dunia. CEO Western Publishing adalah Richard Bernstein, seorang Yahudi.
Celakanya bagi kita, media massa di berbagai negara kerapkali mengambil media-media massa besar tersebut sebagai rujukan beritanya. Termasuk di negeri ini tentunya. Hasilnya, opini yang berkembang jadi seragam. Bener lho. Gimana nggak seragam, wong yang diambil dari sono kok. Ambil contoh, media cetak di negeri kita aja suka mencantumkan sumbernya, seperti dari Reuters, CNN, AP dan lain sebagainya. Emang sih nggak semuanya media massa dikuasai Yahudi. Tapi gaswatnya, justru yang besar dan berpengaruh yang dimiliki mereka. Jadi, mau nggak mau kudu nelan mentah-mentah informasi yang diberikan mereka. Dan inget lho, film-film yang ditayangkan di televisi or di layar lebar di seluruh dunia, juga nggak lepas dari muatan yang dipesan oleh kalangan Yahudi. Paling nggak, hal itu akan mempengaruhi penilaian kita dalam menerima informasi. Apalagi kemasannya begitu memikat.
Tak salah jika George Gerbner dalam bukunya Mass Media and Human Communication Theory (1967) menyebutkan, أ¢â‚¬إ“Mass Communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continous flow of messages in industrial societiesأ¢â‚¬? (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri).
Media massa sebagai agent of change
Mc.Luhan, penulis buku Understanding Media: The Extensive of Man, menyebutkan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Yup, dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi. Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lainnya. Surat kabar pun, melalui proses yang disebut أ¢â‚¬إ“gatekeepingأ¢â‚¬? lebih banyak menyajikan berbagai berita tentang أ¢â‚¬إ“darah dan dadaأ¢â‚¬? (blood and breast) dari pada tentang contoh dan teladan. Itu sebabnya, kita nggak bisa, atau bahkan nggak sempat untuk mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media. Boleh dibilang, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.
Televisi misalnya, kerap kali menyajikan tayangan kekerasan, dan itu membuat pemirsa televisi menganggap bahwa dunia ternyata lebih keras. Begitu pula ketika sebuah film ditonton, yang, biasanya dengan misi tertentu dari pembuatnya, akan memberikan kesan tersendiri bagi penontonnya. Film?آ Eraser misalnya, film laga yang dibintangi mantan binaragawan asal Austria, Arnold Schwarzenegger أ¢â‚¬?menyisipkan pesan sekilasأ¢â‚¬â„¢ bahwa Hamas di Palestina adalah Teroris. Bisa diduga akibatnya, jika kemudian opini masyarakat tentang Hamas menjadi jelek. Belum lagi Film Schindler’s List besutan sutradara berdarah Yahudi, Steven Spielbergh, yang juga pernah menyutradarai film Jurassic Park,?آ berhasil memanipulasi perasaan masyarakat dunia. Lewat film tersebut, kebencian terhadap kaum Yahudi berubah menjadi empati dan simpati. Inilah kekuatan sebuah media massa. Dahsyat!
Kamu pernah nonton sekuelnya film James Bond, yang berjudul Tomorrow Never Die? Nah, kisah dalam film itu kian menegaskan bahwa media massa benar-benar sebagai agent of change, alias agen pengubah. Bahkan di sinilah perang informasi bisa diwujudkan. Di film itu, Cina dan Inggris hampir saja perang, karena surat kabar Tomorrow menurunkan laporan terjadinya penembakan kapal perang Inggris oleh pesawat tempur Cina dan sebaliknya. Padahal, semua itu direkayasa oleh Tomorrow. Selain tujuan bisnis, ia juga mempunyai misi bahwa media memang efektif juga untuk memicu ketegangan. Ujungnya, meraih keuntungan secara politis.
Jadi nggak heran juga jika majalah TIME, dalam situs internet time.com edisi 17 September 2002 menurunkan berita yang menghebohkan tentang pengakuan Omar al-Faruq mengenai adanya jaringan terorisme al-Qaidah di Indonesia. Pada waktu bersamaan, CNN.com edisi 17 September 2002 menurunkan dua berita sekaligus, yaitu tentang adanya gerakan Islam fundamentalis di Asia Tenggara untuk mendirikan أ¢â‚¬إ“Super Stateأ¢â‚¬? dan berita tentang rincian operasi al-Qaidah dalam rangka memperluas jaringannya di Asia Tenggara.
Bagaimana dengan tanggapan masyarakat? Ada yang percaya, tapi tentu ada juga yang menganggapnya bahwa berita itu adalah akal-akalannya pemerintah AS yang memiliki link kuat dengan media-media berpengaruh di dunia tersebut. Celakanya, penentu kebijakan di negeri seperti kerbau dicocok hidung, mau aja ngikutin pesan (baca: tekanan) dari AS via informasi tersebut yang emang lagi bernafsu dalam kampanye memerangi apa yang mereka sebut sebagai terorisme.
Dalam kondisi seperti ini, media memang menjadi corong untuk membangun dan membentuk opini. Gawatnya, jika opini tersebut sudah diseleksi (baca: diplintir) oleh pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan keinginannya. Hasilnya, media massa telah berubah menjadi ancaman yang sangat mengerikan.
أ¢â‚¬?Tradisiأ¢â‚¬â„¢ mengubah persepsi berlaku juga dalam tataran dunia hiburan. Kita tahu betapa gencarnya rumah produksi di Hollywood yang rata-rata dikuasai Yahudi, telah memberikan gambaran yang buruk kepada kita, kaum muslimin. Kalangan Yahudi punya semboyan: أ¢â‚¬إ“Kita tidak sekadar memberikan pengaruh yang menentukan dalam sistem politik yang kita kehendaki serta kontrol terhadap pemerintah; kita juga melakukan kontrol terhadap alam pikiran dan jiwa anak-anak merekaأ¢â‚¬? (Henry Ford, Sr., أ¢â‚¬إ“The International Jew: The World Foremost Problemأ¢â‚¬?)
Perlukah media tandingan?
Hmmأ¢â‚¬آ¦ kalo begini ceritanya, genderang perang baru sudah ditabuh. Sekarang, saatnya perang opini. Tentunya, jika kita melihat fakta, pastinya bakalan keder duluan dengan hegemoni dari kartel opini Yahudi. Mereka ada di mana-mana, dan menyerang secara sistematis. Nyaris tak ada sasaran yang kelewat. Mulai dari pasar anak-anak, remaja, sampe dewasa. Lengkap. Dan harap diinget bahwa semuanya berpotensi untuk mengubah cara pandang dan penilaian kita terhadap perkembangan yang ada. Tentunya setelah mereka menyeleksi pesan apa yang diinginkan sesuai dengan kepentingannya sebelum disebar ke pembacanya dan pemirsanya.
Kalo setiap hari kita menelan mentah-mentah info yang disebar kartel opini Yahudi, maka nggak usah kaget kalo kita kemudian jadi terpengaruh dengan opini yang dikembangkan mereka. Sementara upaya untuk membendung kekuatan jaringan opini Yahudi nyaris kepayahan. Bukan apa-apa, media kita, Islam, jauh lebih sedikit dan kalah canggih ketimbang media yang dimiliki Yahudi. Tapi tentunya tidak melemahkan semangat kita untuk menandinginya. Kita justru tambah semangat.
Memang sih pengennya, atau idealnya kita punya juga media tandingan. Untuk mewujudkannya, bisa aja para konglomerat muslim menginvestasikan dananya untuk penerbitan media Islam. Memang bukan hal mudah, buktinya sampai sekarang para investor atau orang-orang Islam yang kaya mungkin kurang begitu peduli dengan urusan kayak begini. Mungkin juga karena mereka menganggap media Islam itu tidak menjanjikan keuntungan bagi mereka. Kalau itu permasalahannya, kan bisa dicari formula bacaan yang tepat dan juga manajemen yang profesional. Lagipula, untuk urusan dakwah bukankah keikhlasan dan keseriusan menjadi prioritas?
Kalo hal itu masih dirasa sulit juga, barangkali yang paling mungkin dilakukan dalam tataran solusi praktis adalah memilih dan memilah informasi. Namun hal ini pun nggak begitu mudah, kalo kita nggak punya filter. Apa filternya? Kita kudu mengetahui mana yang salah mana yang bener. Singkatnya begini deh, selalu merujuk kepada Islam. Dan tentunya ketika mendapat info, jangan langsung telen aja. Sebaliknya kudu selalu أ¢â‚¬?curigaأ¢â‚¬â„¢ terhadap info yang disebar media asing (baca; bukan Islam).
Memang sih, kalo pengen benar-benar optimal, yang harus kita lakukan adalah menggalang kekuatan bersama dari seluruh kaum muslimin di dunia ini untuk membangun kesadaran dalam menyatukan pikiran dan perasaan, serta aturan. Kapan dimulainya? Sekarang dong.?آ Jadi, mari ubah individu dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Kita bangun kembali masyarakat Islam dalam sebuah negara yang akan mampu melawan seluruh hegemoni kekuatan asing; tidak saja Yahudi, tapi seluruh kekuatan yang menghalangi Islam bakalan dilibas.. bas..bas. Yes, We are the champion my friends! [O. Solihin]









Jaringan Aksi Misionaris Dunia
Posted in Sobat Muda Tahun 1 by oleh on the June 22nd, 2007


Bukan rahasia lagi jika masalah ini sangat diketahui banyak orang. Aksi misionaris dunia dengan dana dan jaringan aksi yang kuat layak dicermati dan diwaspadai. Masihkah kita berdiam diri?
Jerit tangis ketakutan tatkala ombak menggulung kawasan Aceh dan Sumatera Utara, menimbulkan duka yang begitu menyayat. Ratusan ribu jiwa lenyap ditelan keganasan gelombang tsunami yang menyapu kawasan tersebut. Ibu kehilangan anaknya, suami kehilangan isteri, anak kehilangan orang tua. Bantuan pun mengalir dari seluruh penjuru dunia, dengan harapan dapat meringankan penderitaan mereka. Namun ada di antara para dermawan tersebut, tersembunyi maksud jahat dari musuh musuh Islam dan kaum muslimin. Bencana itu dijadikan arena untuk menghancurkan kaum muslimin.
Di tengah duka nestapa anak-anak yang kehilangan orang tuanya, muncul lembaga semacam WorldHelp. Berkedok memberi pertolongan, ternyata malah melarikan 300 anak-anak generasi penerus kaum muslimin dari bumi Serambi Mekah, untuk dididik secara Kristen. Berita tersebut dilansir oleh Washington Post (13 Januari 2005). Lembaga misionaris yang berbasis di Virginia tersebut, mendapatkan sokongan dana dari kelompok Kristen Evangelis di seluruh dunia. Vernon Brewer Presiden WorldHelp menyatakan, pihaknya menyediakan dana sebesar 70 ribu dollar AS dan sedang mencari dana tambahan sebesar 350 dollar AS untuk membangun panti asuhan yatim piatu.
Fakta tersebut menguak motif sebenarnya dari bantuan yang diberikan oleh orang-orang kafir terhadap kaum muslimin. Bagi mereka tidak ada bantuan tanpa imbalan, sekaligus membuktikan kebenaran firman Allah Swt.: أ¢â‚¬إ“Dan sungguh tidak akan pernah ridho orang-orang Yahudi dan Nasrani hingga mereka menjadikan kamu mengikuti millah merekaأ¢â‚¬? (QS al-Baqarah [2]: 120)
Misi kristenisasi di dunia
Terkuaknya skandal WorldHelp sebenarnya hanya sebagian kecil dari sekian banyak aktivitas misi kristenisasi di dunia. Agak sulit melacak aktivitas mereka secara detail sebab misi mereka berkamuflase di balik lembaga-lembaga mantel.
Sekarang ini di dunia terdapat lebih dari 220 ribu missionaris (137.000 Katholik dan 82.000 Protestan). Kebanyakan mereka dikirim oleh lembaga Southern Baptist Conventon. Jaringan kerjasama antar lembaga seperti Christar dengan beberapa organisasi Arab. Kemudian ada Frontiers, lembaga terbesar yang dikelola Rick Love tersebut, mengkhususkan diri dalam kegiatan pemurtadan umat Muslim di seluruh dunia. Menyebarkan 800 misionaris ke-50 negara Muslim mulai dari Asia Pasifik hingga Afrika Selatan. Mereka menyamar dengan berprofesi sebagai guru, konsultan, akuntan, wartawan, aktivis LSM, juru rawat, pengusaha, dan designer.
Ada CBN WorldReach, Penginjilan Global dari Christian Broadcasting Network, dirancang untuk menyebarkan Injil kepada 3 juta orang melalui media massa dan pelayanan pribadi. Mereka mempunyai jaringan lebih dari 200 negara, seperti Operation Sunrise Africa dan CBN Indonesia.
Di antara yayasan-yayasan misionaris yang aktif di Indonesia adalah Nehemia Foundation yang sering disebut sebagai CCN. Misi kristenisasi juga berlindung di balik organisasi internasional seperti, WHO, FAO, UNESCO dan UNICEF. Dalam sensus tahun 1975 terdapat 8.504 missionaris sukarela Protestan. 5.393 orang missionaris sukarela Katolik.
Missi Kristen juga bercokol di 38 negara Afrika, jumlahnya mencapai ribuan, memiliki 119.000 missionaris laki-laki dan perempuan. Anggaran mereka sebesar 2 milyar dollar AS tiap tahun. Di Sudan misi kristenisasi berlindung di balik lembaga Direct Relief (DR), lembaga bantuan penyuplai alat-alat pengeboran air dan generatornya.
Organisasi-organisasi Kristen di Ghana bergabung membentuk Dewan Kristen Ghana pada tahun 1929, dengan perwakilan yang mencakup aliran Metodis, Anglikan, Mennonit, Presbiterian, Metodis Episkopal Zionis Afrika, Metodis Kristen, Lutherian Evangelis, Baptis dan masih banyak lagi. Organisasi itu mendasari gerakannya untuk mengembangkan agama Kristen.
Di Bangladesh gerakan misionaris mulai berjalan tahun 1793 di bawah naungan British Baptist Misionarries Society. Sampai?آ tahun 1980, ada 21 kelompok misionaris Protestan yang aktif di Bangladesh dan memiliki 270 pekerja asing. Saat ini grup misionaris terbesar bernama Association of Baptist for World Evangelization yang memiliki 40 orang pekerja misionaris asing. Disamping itu ada juga pusat pendidikan Holy Cross yang menyebarluaskan propaganda kebebasan perempuan.
Organisasi-oraganisasi tersebut mengadakan pertemuan seluruh dunia sekali setiap 6 atau 7 tahun, berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain. Konferensi Colorado 15 Oktober 1978 tergolong konferensi paling berbahaya. Tema konferensi ialah أ¢â‚¬إ“Konferensi Amerika Selatan untuk Mengkristenkan Ummat Islamأ¢â‚¬?. Pesertanya sekitar 50 orang mewakili organisasi-organisasi Kristen paling aktif di dunia. Hasilnya berupa satu strategi yang dirahasiakan karena dipandang sangat berbahaya. Antara lain diputuskan anggaran biaya sebesar satu miliar dolar AS untuk program kristenisasi. Dana sebesar itu benar-benar terkumpul dan didepositokan di salah satu bank terbesar di Amerika Serikat. Mengenai sumber dananya sulit diketahui, sebab hal tersebut juga sangat rahasia.
Hasil aksi yang dilakukannya
Tujuan gerakan mereka jelas ingin menghancurkan Islam. Gerakan misionaris sudah dimulai berabad-abad lalu setelah mereka gagal megalahkan Islam dengan kekuatan senjata. Didukung oleh kekuatan negara mereka mendirikan pusat-pusat misionaris di wilayah Khilafah Ustmani, seperti Malta, Lebanon dan Syiria. Puncaknya mereka mendirikan Universitas Amerika di Beirut, dan Universitas Saint Joseph tahun 1874.
Gerakan mereka selanjutnya diarahkan untuk menjadikan Ummat Islam meninggalkan ajaran Islam dan mulai beralih kepada ajaran Barat. Dengan memunculkan ide nasionalisme di kalangan kaum muslimin, meniupkan sentimen Arab dan Turki. Kemudian menyulut pertikaian antara sekte-sekte Kristen sendiri dengan tujuan untuk mengundang campur tangan negara Barat di wilayah Daulah Utsmani.
Kemudian melangkah ke tahap berikutnya, menyiapkan kondisi menuju terciptanya revolusi menentang Daulah Khilafah. Dengan bantuan misionaris tersebut, akhirnya Barat dengan mudah memecah belah Daulah Khilafah Ustmani menjadi lebih dari 50 negara nasional seperti yang kita lihat sekarang.
Sampai sekarang gerakan kristenisasi tersebut sulit untuk dihentikan. Apalagi dengan kondisi sistem demokrasi seperti sekarang. Mereka lebih leluasa lagi untuk bergerak dengan dalih demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia. Di Iran saja sejak TV satelit diizinkan sudah 50.000 muslim murtad.
Satu hal yang harus kita catat, bahwa orang-orang kafir tersebut telah berhasil melebihi dari gambaran banyaknya jumlah orang yang dimurtadkan. Sebab mereka telah berhasil menjadikan kaum muslimin meninggalkan Islam baik disadari atau tidak, seperti yang diucapkan Samuel Zwemer dalam Muأ¢â‚¬â„¢tamar Kristen di Quds tahun 1935 M: أ¢â‚¬إ“أ¢â‚¬آ¦ tetapi tugas missionaris Kristen di negara-negara Islam yang telah didukung oleh negara-negara Kristen bukanlah berupaya untuk mengkristenkan ummat Islam, sebab hal ini merupakan suatu petunjuk dan penghormatan bagi mereka. Tetapi tugas kalian yang terpenting ialah memurtadkan orang Islam dari agama mereka agar menjadi orang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Allah. Kemudian tidak mempunyai hubungan dengan moral yang telah menjadi landasan hidup seluruh bangsa.أ¢â‚¬?
Dengan kenyataaan sperti ini tidak mungkin menghentikan laju gerak mereka kecuali dengan kekuatan Daulah Khilafah, suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada akidah Islamiyah. Karena dengan sistem Khilafah celah-celah yang bisa digunakan untuk kristenisasi tertutup rapat. Dengan Khilafah sajalah akidah ummat terlindungi dari ide sesat yang menyesatkan. Itu sebabnya, perjuangan menegakkannya bersifat sangat amat segera dan memerlukan perhatian yang besar dari kita.. Waullahuأ¢â‚¬â„¢alam bishowab [D. Saputra]





AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU
Posted in Managemen by abu fikri on the May 4th, 2007


Jika Anda bertanya, “Apakah akibat yang akan terjadi kalau menyia-nyiakan waktu?” Salah satu jawaban yang paling gamblang adalah ayat pertama dan kedua surat Al-’Ashr.
Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal ‘ashr (Demi masa),?آ untuk?آ membantah?آ anggapan?آ sebagian?آ orang yang mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang?آ dinamai?آ masa?آ sial atau masa mujur, karena yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan inilah yang berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral. Demikian Muhammad ‘Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini.
Allah bersumpah dengan ‘ashr, yang arti harfiahnya adalah “memeras sesuatu?آ sehingga?آ ditemukan?آ hal?آ yang?آ paling tersembunyi padanya,” untuk menyatakan bahwa, “Demi masa, saat manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh” (dan?آ seterusnya?آ sebagaimana diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya).
Kerugian tersebut baru disadari setelah berlalunya masa yang berkepanjangan, yakni paling tidak akan disadari pada waktu ‘ashr kehidupan menjelang hayat terbenam. Bukankah ‘ashr adalah waktu ketika matahari akan terbenam? itu agaknya yang menjadi sebab sehingga Allah mengaitkan kerugian manusia dengan kata ‘ashr untuk menunjuk “waktu?آ secara?آ umum”, sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian
selalu datang kemudian.
Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr (kerugian).
Kata khusr mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat, celaka, lemah, dan sebagainya yang semuanya mengarah kepada makna-makna negatif yang tidak disenangi oleh siapa pun. Kata khusr pada ayat di atas berbentuk indefinitif (nakirah), karena ia menggunakan tanwin, sehingga dibaca khusr(in), dan bunyi in itulah yang disebut tanwin. Bentuk indefinitif, atau bunyi in yang ada pada kata tersebut berarti “keragaman dan kebesaran”,?آ sehingga?آ kata khusr harus dipahami sebagai kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar.
Kata fi biasanya diterjemahkan dengan di?آ dalam?آ bahasa indonesia. Jika misalnya Anda berkata, “Baju di lemari atau uang di saku”, tentunya yang Anda maksudkan adalah bahwa baju berada di dalam lemari dan uang berada di dalam saku. Yang tercerap dalam benak ketika itu adalah bahwa baju telah diliputi lemari, sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di dalam saku sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar.
Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, “manusia berada didalam kerugian”. Kerugian adalah wadah dan manusia berada di dalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian?
Untuk menemukan jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada ayat pertama, “Demi masa”, dan mencari kaitannya dengan ayat kedua, “Sesungguhnya manusia berada didalam kerugian”.
Masa adalah modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan berlalu begitu. Ketika waktu berlalu begitu saja, jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda,
“Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.”
Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi, yang bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal yang negatif, manusia tetap diliputi oleh kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi Saw. yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw
Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan oleh Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.).

BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU?
Tidak pelak lagi bahwa waktu harus diisi dengan berbagai aktivitas positif. Dalam surat Al-’Ashr disebutkan empat hal yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian dan kecelakaan besar dan beraneka ragam. Yaitu,
1. yang beriman,
2. yang beramal saleh,
3. yang saling berwasiat dengan kebenaran, dan
4. yang saling berwasiat dengan kesabaran.
Sebenarnya keempat hal ini telah dicakup oleh kata “amal”, namun?آ dirinci sedemikian rupa untuk memperjelas dan menekankan beberapa hal yang boleh jadi sepintas lalu tidak terjangkau oleh kalimat beramal saleh yang disebutkan pada butir (2).
Iman dari segi bahasa bisa diartikan dengan pembenaran. Ada sebagian pakar yang mengartikan iman sebagai pembenaran hati terhadap hal yang didengar oleh telinga. Pembenaran akal saja tidak cukup kata mereka karena yang penting adalah pembenaran hati.
Peringkat iman dan kekuatannya berbeda-beda antara seseorang dengan lainnya, bahkan dapat berbeda antara satu saat dengan saat lainnya pada diri seseorang. Al-iman yazidu wa yanqushu (Iman itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi rumusannya. Nah,?آ upaya?آ untuk?آ mempertahankan dan meningkatkan iman merupakan hal yang amat ditekankan. Iman inilah yang amat berpengaruh pada hal diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah Swt.
Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan,

Kami menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang tidak percaya), lalu kami menjadikan amal-amal itu (sia-sia bagai) debu yang beterbangan.
Ini disebahkan amal atau pekerjaan tersebut tidak dilandasi oleh iman. Demikianlah bunyi sebuah ayat yang merupakan “undang-undang Ilahi”
Di atas dikatakan bahwa tiga butir yang disebut dalam surat ini pada hakikatnya merupakan bagian dari amal saleh. Namun demikian ketiganya disebut secara eksplisit untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Pesan tersebut antara lain adalah bahwa amal saleh yang tanpa iman tidak akan diterima oleh Allah Swt.
Dapat juga dinyatakan ada dua macam ajaran agama, yaitu pengetahuan dan pengamalan. Iman (akidah) merupakan sisi pengetahuan, sedangkan syariat merupakan sisi pengamalan. Atas dasar inilah ulama memahami makna alladzina amanu (orang yang beriman) dalam ayat ini sebagai “orang-orang yang memiliki pengetahuan?آ tentang?آ kebenaran”. Puncak kebenaran adalah pengetahuan tentang Allah dan ajaran-ajaran?آ agama?آ yang bersumber dari-Nya. Jika demikian, sifat pertama yang dapat menyelamathan seseorang dari kerugian adalah?آ iman?آ atau pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja harus diingat, bahwa dengan iman seseorang baru menyelamatkan seperempat dirinya, padahal ada empat hal yang disebutkan surat Al-’Ashr yang menghindarkan manusia dari kerugian total.
MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA
Hal kedua yang disebutkan dalam surat?آ Al-’Ashr?آ adalah ‘amilush-shalihat (yang melakukan amal-amal saleh). Kata ‘amal (pekerjaan) digunakan oleh Al-Quran?آ untuk?آ menggambarkan perbuatan yang disadari oleh manusia dan jin.
Kiranya menarik untuk mengemukakan pendapat beberapa pakar bahasa yang menyatakan bahwa kata ‘amal dalam Al-Quran tidak semuanya mengandung arti berwujudnya suatu pekerjaan di alam nyata. Niat untuk melakukan sesuatu yang baik kata mereka juga dinamai ‘amal. Rasul Saw. menilai bahwa niat baik seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah maksud surat Al-Zalzalah ayat 7:
Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan (ganjaran)-nya.
Amal manusia yang beraneka ragam itu bersumber dan empat daya yang dimilikinya:
1. Daya tubuh, yang memungkinkan manusia memiliki antara lain kemampuan dan keterampilan teknis.
2. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan sunnatullah.
3. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan moral, estetika, etika, serta mampu berkhayal, beriman, dan merasakan kebesaran ilahi.
4. Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan.
Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, akan menjadikan amal tersebut sebagai “amal saleh”.
Kata shalih terambil dari akar kata shaluha yang dalam kamus-kamus bahasa Al-Quran dijelaskan?آ maknanya?آ sebagai antonim (lawan) kata fasid (rusak). Dengan demikian kata “saleh” diartikan sebagai tiadanya atau terhentinya kerusakan.
Shalih juga diartikan sebagai bermanfaat dan sesuai. Amal saleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan tidak menyebabkan dan mengakibatkan madharrat (kerusakan), atau bila pekerjaan tersebut dilakukan akan diperoleh manfaat dan kesesuaian.
Secara keseluruhan kata shaluha dalam berbagai bentuknya terulang dalam Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara umum dapat dikatakan bahwa kata tersebut ada yang dibentuk sehingga membutuhkan objek (transitif), dan ada pula yang?آ tidak membutuhkan objek (intransitif). Bentuk pertama menyangkut aktivitas yang mengenai objek penderita. Bentuk ini memberi kesan?آ bahwa?آ objek?آ tersebut?آ mengandung?آ kerusakan dan ketidaksesuaian sehingga pekerjaan?آ yang?آ dilakukan?آ akan menjadikan objek tadi sesuai atau tidak rusak. Sedangkan bentuk kedua menunjukkan terpenuhinya nilai manfaat dan kesesuaian?آ pekerjaan yang dilakukan. Usaha menghindarkan
ketidaksesuaian pada sesuatu maupun menyingkirkan madharrat yang ada padanya dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara kesesuaian serta manfaat yang terdapat pada sesuatu dinamai shalah.
Apakah tolok ukur pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan ketidakrusakan itu? Al-Quran tidak menjelaskan, dan para ulama pun?آ berbeda pendapat. Syaikh Muhammad ‘Abduh, misalnya, mendefinisikan amal saleh sebagai, “segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan.”
Apabila seseorang telah mampu melakukan amal saleh yang disertai iman, ia telah memenuhi dua dari empat hal yang harus dipenuhinya untuk membebaskan dirinya dari kerugian total. Namun sekali lagi harus diingat, bahwa menghiasi diri dengan kedua hal di atas baru membebaskan manusia dari setengah kerugian karena ia masih harus melaksanakan dua hal lagi agar benar-benar selamat, beruntung, serta terjauh dari segala
kerugian.
Yang ketiga dan keempat adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw bish-shabr (saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran). Agaknya bukan di sini tempatnya kedua hal di atas diuraikan secara rinci. Yang dapat dikemukakan hanyalah bahwa al-haq diartikan sebagai kebenaran yang diperoleh melalui pencarian ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan menghadapi segala sesuatu, serta kemampuan menahan rayuan nafsu demi mencapai yang terbaik.
Surat Al-’Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan iman saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman. Memang ada orang yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula yang merasa jenuh. Karena itu, ia perlu selalu menerima nasihat agar tabah dan sabar, sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya.
Demikian terlihat bahwa amal atau kerja dalam pandangan Al-Quran bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan, minum, atau rekreasi, tetapi kerja beraneka ragam sesuai dengan keragaman daya manusia. Dalam hal ini Rasulullah?آ Saw. mengingatkan:
Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog) dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi. Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar), dan ada pula yang dikhususkan untuk diri (dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan makan dan minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim melalui Abu Dzar Al-Ghifari).
Demikian surat Al-’Ashr mengaitkan waktu dan kerja, serta sekaligus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu. Sungguh tepat imam Syafi’i mengomentari surat ini:
Kalaulah manusia memikirkan kandungan surat ini, sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi kehidupan mereka).
—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan






MENGISI WAKTU
Posted in Managemen by abu fikri on the May 3rd, 2007


Al-Quran memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh ‘ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal dengan mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang hal ini, perlu digarisbawahi bahwa sementara kita ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi dengan beribadah (dalam pengertian sempit). Mereka merujuk kepada firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang menyatakan, dan memahaminya dalam arti
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.
Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan kerancuan, karena memahami lam (li) pada li ya’budun dalam arti “agar”. Dalam bahasa Al-Quran, lam tidak selalu berarti demikian, melainkan juga dapat berarti kesudahannya atau akibatnya. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 8 yang menguraikan dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir’aun.
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah (QS Al-Qashash [28]: 8).
Kalau lam pada ayat di atas diterjemahkan “agar”, maka ayat tersebut akan berarti, “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keiuarga Fir’aun ‘agar’ ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” Kalimat ini jelas tidak logis, tetapi jika lam dipahami sebagai akibat atau kesudahan, maka terjemahan di atas akan berbunyi, “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Fir’aun, dan kesudahannya adalah ia menjadi musuh bagi mereka.”
Kembali kepada ayat Adz-Dzariyat di atas, dapat ditegaskan bahwa Al-Quran menuntut agar kesudahan?آ semua?آ pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.
Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung (QS Al-Jum’ah [62]: 10).
Dari sini ditemukan bahwa Al-Quran mengecam secara tegas orang-orang yang mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan tertentu seperti kanak-kanak. Atau melengahkan sesuatu yang lebih penting seperti sebagian remaja, sekadar mengisinya dengan bersolek seperti sementara wanita, atau menumpuk harta benda dan memperbanyak anak dengan tujuan berbangga-bangga seperti halnya dilakukan banyak orangtua.
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak beriman) hanyalah permainan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20 dan baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) .
Kerja atau amal dalam bahasa Al-Quran, seringkali dikemukakan dalam?آ bentuk?آ indefinitif?آ (nakirah).?آ Bentuk ini oleh pakar-pakar bahasa dipahami sebagai memberi makna keumuman, sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis kerja. Perhatikan misalnya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 195.
Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di antara kamu baik lelaki maupun perempuan.
Al-Quran tidak hanya memerintahkan orang-orang Muslim untuk bekerja, tetapi juga kepada selainnya. Dalam surat Al-An’am ayat 135 dinyatakan.
Hai kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh kemampuan (dan sesuai kehendak). Aku pun akan berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui siapakah di antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia/akhirat.
Bahkan Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal bekerja saja, tetapi bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al-Quran tidak memberi peluang kepada seseorang untuk tidak melakukan suatu aktivitas kerja sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Surat Al-’Ashr dan dua ayat terakhir dari surat?آ Alam Nasyrah menguraikan secara gamblang mengenai tuntunan di atas.
Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman optimisme kepada setiap Muslim dengan berpesan,
… karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan (QS 94: 5-6).
Maksudnya, sesungguhnya bersama satu kesulitan yang sama terdapat dua kemudahan yang berbeda. Maksud ini dipahami dari bentuk redaksi ayat di atas. Terlihat bahwa kata al-ushr terulang?آ dua?آ kali dan keduanya dalam bentuk definitif (ma’rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al), sedangkan kata yusra juga terulang dua kali tetapi dalam bentuk indefinitif, karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah kebahasaan dikemukakan bahwa apabila dalam suatu susunan terdapat dua kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya bermakna sama sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif, maka ia berbeda.
Setelah berpesan demikian, kembali surat ini memberi petunjuk kepada umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lain, dengan menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah Swt.
Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (QS 94: 7).
Kata faraghta terambil dan kata faragha yang ditemukan dalam Al-Quran?آ sebanyak?آ enam?آ kali?آ dengan?آ berbagai?آ bentuk derivasinya. Dari segi bahasa, kata tersebut berarti kosong setelah?آ sebelumnya?آ penuh,?آ baik secara material maupun imaterial. Seperti gelas yang tadinya dipenuhi, oleh air, kemudian diminum atau tumpah sehingga gelas itu menjadi kosong. Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh ketakutan dan kesedihan, kemudian plong, semua digambarkan dengan akar kata ini. Perlu digarisbawahi bahwa kata?آ faragh?آ tidak digunakan?آ selain?آ pada?آ kokosongan?آ yang didahului oleh kepenuhan, maupun keluangan yang didahului oleh kesibukan.
Dari sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus didahului oleh adanya sesuatu yang mengisi “wadah” kosong itu. Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka jarak waktu antara selesai pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya
dinamai faragh.
Jika Anda berada dalam keluangan (faragh) sedangkan sebelumnya Anda telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka itulah yang dimaksud dengan fan-shab. Kata fan-shab antara lain berarti berat, atau letih. Kata ini pada mulanya berarti menegakkan sesuatu sampai nyata dan mantap, seperti halnya gunung. Allah Swt. berfirman,
Apakah mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan, dan kepada langit bagaimana ditinggiikan, dan kepada gunung bagaimana ditegakkan sehingga menjadi nyata (QS 88: 17-19).
Kalimat terakhir pada terjemahan di atas dijelaskan oleh Al-Quran dengan kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu nushibat dalam kalimat Wa ilal jibali kaifa nushibat. Dari kata ini juga dibentuk kata nashib atau “nasib” yang biasa dipahami sebagai “bagian tertentu yang diperoleh?آ dari kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, jelas, dan sulit dielakkan”.
Kini setelah arti kosakata diuraikan– dapatlah kita melihat beberapa kemungkinan terjemahan ayat 7 dan 8 dari surat Alam Nasyrah di atas.
Apabila engkau telah berada dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (suatu persoalan baru) sehingga menjadi nyata.
Ayat ini seperti dikemukakan di atas– tidak memberi peluang kepada Anda untuk menganggur sepanjang masih ada masa, karena begitu Anda selesai dalam satu kesibukan, Anda dituntut melakukan kesibukan 1ain yang meletihkan atau menghasilkan karya nyata, guna mengukir nasib Anda.
Nabi Saw. menganjurkan umatnya agar meneladani Allah dalam sifat?آ dan?آ sikap-Nya sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dan salah satu yang perlu dicontoh adalah sikap Allah yang dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 29.
Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan.
—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan





TUJUAN KEHADIRAN WAKTU
Posted in Managemen by abu fikri on the May 2nd, 2007


Ketika beberapa orang sahabat Nabi Saw. mengamati keadaan bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama, kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka bertanya kepada Nabi, “Mengapa demikian?” Al-Quran pun menjawab,
Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]: 189).
Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa peredaran matahari dan bulan yang menghasilkan pembagian rinci (seperti perjalanan dari bulan sabit ke purnama), harus dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menyelesaikan suatu tugas (lihat kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di atas). Salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini dicontohkan dengan ibadah haji, karena ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun islam.
Keadaan bulan seperti itu juga untuk menyadarkan bahwa keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti bulan. Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil bagai sabit, dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).
Mengingat berkaitan dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga mengantarkan manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama, adalah “menggunakan segala potensi yang dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan penganugerahannya,” dan ini menuntut upaya dan kerja keras.
Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, kemudian diakhiri dengan pernyataan. “Maka ambillah pelajaran dan peristiwa itu.” Demikian pula ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapi masa depan, atau berpikir, dan menilai hal yang telah dipersiapkannya demi masa depan.
Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Menarik untuk diamati bahwa ayat di atas dimulai dengan perintah bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah ketakwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah ketakwaan.
Hari esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas pengertiannya pada hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu yang kita alami. Kata ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan dengan esok, ditemukan dalam Al-Quran sebanyak lima kali; tiga di antaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari esok duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.
—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan






RELATIVITAS WAKTU
Posted in Managemen by abu fikri on the May 2nd, 2007


Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Kesadaran kita tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya (malam saat terbenam dan siang saat terbitnya) maupun kenyataan bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.
Perhitungan semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan diakui oleh Al-Quran (seperti setahun sama dengan dua belas bulan pada surat At-Taubah ayat 36), Al-Quran juga memperkenalkan adanya relativitas waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.
Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:
Dan berkata salah seorang dan mereka, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari …”
Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang,
Mereka berkata, “Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari.” (QS Al-Kahf [18]: 19).
Ini karena mereka ketika itu sedang ditidurkan oleh Allah, sehingga walaupun mereka berada dalam ruang yang sama dan dalam rentang waktu yang panjang, mereka hanya merasakan beberapa saat saja.
Allah Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam Al-Quran ditemukan kata kerja bentuk masa lampau (past tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa depan. Allah Swt. berfirman:
Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya …(QS Al-Nahl [16]: 1).
Bentuk kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca mengenai makna yang dikandungnya, karena bagi kita, kiamat belum datang. Tetapi di sisi lain jika memang telah datang seperti bunyi ayat, mengapa pada ayat tersebut dilarang meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu insya Allah akan sirna, jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang akan datang sama saja. Dari sini dan dari sekian ayat yang lain sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.
Ketika Al-Quran berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh malaikat menuju hadirat-Nya, salah satu ayat Al-Quran menyatakan perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia).
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (men~hadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (QS Al-Ma’arij [70]: 4).
Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para malaikat tertentu untuk naik ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (QS Al-Sajdah [32]: 5).
Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh satu pelaku mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu sasaran. Batu, suara, dan cahaya masing-masing membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai sasaran yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi mencapai hal yang dikehendakinya. Sesuatu itu adalah Allah Swt.
Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti kejapan mata (QS Al-Qamar [54] 50).
“Kejapan mata” dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam pengertian dimensi manusia, karena Allah berada di luar dimensi tersebut, dan karena Dia juga telah menegaskan bahwa:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!”, maka terjadilah ia (QS Ya Sin [36]: 82)
Ini pun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah membutuhkan kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat di atas hanya ingin menyebutkan bahwa Allah Swt. berada di luar dimensi ruang dan waktu.
Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami secara mutlak seperti pemahaman populer dewasa ini. “Allah menciptakan alam raya selama enam hari”, tidak harus dipahami sebagai enam kali dua puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata “tahun” dalam Al-Quran tidak berarti 365 hari –walaupun kata yaum dalam Al-Quran yang berarti hari hanya terulang 365 kali– karena umat manusia berbeda dalam menetapkan jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat manusia mengenal pula perhitungan yang lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi Nuh a.s. hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29: 14), tidak harus dipahami dalam konteks perhitungan Syamsiah atau Qamariah. Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan musim (panas, dingin, gugur, dan semi) sehingga setahun perhitungan kita yang menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230 tahun.
Al-Quran mengisyaratkan perbedaan perhitungan Syamsiah dan Qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (Ashhabul-Kahfi) tertidur.
Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS Al-Kahf [18]: 25).
Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan Syamsiah, sedangkan penambahan sembilan tahun adalah berdasarkan perhitungan Qamariah. Seperti diketahui, terdapat selisih sekitar sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qamariah dan Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu adalah sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama dengan sembilan tahun.
—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan




WAKTU
Posted in Managemen by abu fikri on the May 2nd, 2007


Berbicara mengenai “waktu” mengingatkan penulis kepada ungkapan Malik Bin Nabi dalam bukunya Syuruth An-Nahdhah (Syarat-syarat Kebangkitan) saat ia memulai uraiannya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Saw.:
Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru. “Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.”

Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut:

Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu –selain Tuhan– tidak akan mampu melepaskan diri darinya.

Sedemikian besar peranan waktu, sehingga Allah Swt. Berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa Al-Lail (demi Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan lain-lain.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat arti kata “waktu”: (1) seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang; (2) saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu; (3) kesempatan, tempo, atau peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.
Al-Quran menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna di atas, seperti:
a. Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia manusia atau masyarakat. Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS Yunus [10]: 49)
Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan:

Dia berkata, “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dan kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita ucapkan” (QS Al-Qashash [28]: 28).
b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini, yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam sementara ini.
Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).

Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain saat kita berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan (mematikan) kita kecuali dahr (perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)” (QS Al-Jatsiyah [45]: 24).
c. Waqt digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Karena itu, sering kali Al-Quran menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari satu masa.

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS Al-Nisa’ [4]: 103).

d. ‘Ashr, kata ini biasa diartikan “waktu menjelang terbenammya matahari”, tetapi juga dapat diartikan sebagai “masa” secara mutlak. Makna terakhir ini diambil berdasarkan asumsi bahwa ‘ashr merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata ‘ashr sendiri bermakna “perasan”, seakan-akan masa harus digunakan oleh manusia untuk memeras pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan saja sepanjang masa.

Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian bahasa indonesia), yaitu:

a. Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. sendiri.
b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr).

c. Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, Bulan, tahun, dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.
d. Kata ‘ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.
Demikianlah arti dan kesan-kesan yang diperoleh dari akar serta penggunaan kata yang berarti “waktu” dalam berbagai makna.
—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan



Beda CD-ROM, CD-RW, DVD-ROM, DVD Combo, DVD-RW
Posted in Pernik, Tips Teknologi by Amira Mehnaaz on the August 23rd, 2008


Assalaamu’alaikum wr wb
Komputer sekarang pasti sudah dilengkapi oleh salah satu ato lebih optical drive, baik itu cdrom, cdrw, dvdrom, dvd combo, ato dvd rw. Bedanya apa sih?
1. CD-ROM adalah drive yang hanya diperuntukkan membaca kepingan cd baik cd-rom, cd-audio,cd mp3, vcd, cd-picture, dsb.baik cd berukuran normal 12cm atau cd mini yang berukuran 8cm.
2. CDRW adalah drive yang memiliki kemampuan membaca kepingan cd dan juga mampu menulis di kepingan cd blank, kerennya burn,
3. Dvd rom adalah drive yang bisa membaca kepingan cd dan juga mampu membaca kepingan dvd baik berupa dvd-rom, dvd movie, dvd audio,dsb. Tapi hanya bisa membaca saja hampir semua jenis cd dan dvd kecuali dvd ram, yang biasanya membutuhkan drive dvd-rw
4. Dvd combo adalah drive yang menggabungkan kemampuan dvdrom dan cdrw, terbayang kan kemampuannya?ya drive ini mampu membaca kepingan cd dan dvd dan juga mampu menulis tapi hanya pada cd kosong.
5. Dvd RW merupakan drive terlengkap yang ada dipasaran sekarang selain mampu membaca semua jenis cd dan dvd dan juga mampu membaca dvd-ram dan juga mampu untuk menulis pada semua jenis kepingan, baik cd kosong, dvd kosong, dan juga dvd ram.
Semoga tercerahkan dan kini bisa membedakan ya [ariandi]



Agar Batre Isi Ulang (Charge) Awet
Posted in Pernik, Tips Teknologi by Leila Amra on the August 19th, 2008


Assalaamu’alaikum wr wb
Batre isi ulang yang sering disebut oleh masyarakat awam batre cas, atau bahasa aslinya batre charge sudah menjadi suber energi yang menggantikan batre biasa yang berbahan zinc carbon dan alkaline yang tidak bisa diisi ulang. Macam2 bahan dari batre isi ulang ini, yang umum adalah NiCad, NiMh, Li-Ion, Li-.Pol. kadang karena kesalahan pengguna usia pakai batre ini menjadi lebih singkat, rata2 batre isi ulang bisa di isi ulang hingga 500 kali, atao usia optimalnya sekitar 2 tahun. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar batre awet.
1. Nyalakan peralatan hanya jika dipake, kec HP, jangan tinggal nyala
2. Gunakan batre sampe habis, atau indikator di peralatan menunjukan habis dan minta diganti/isi ulang
3. Isi ulang batre menggunakan charger yang disarankan, krena salah menggunakan charger bhkn bisa membuat batre meledak
4. Isi ulang sampe penuh, karena batre yng sering diisi setengh2 akan cepat turun kemampuannya
5. Pada peralatan yang memiliki faslilitas perawatan batre, spt batre care, batre maintenance mis pada HP dan laptop gunakan menu tersebut secara berkala
6. Pilih peralatan yang memang dikenal hemat energi, atau memiliki fasilitas penghematan energi spt energi saver, econo power, dsb.
Semoga bermanfaat. [ariandi]